Jakarta – Setelah menunggu hampir puluhan tahun, akhirnya Indonesia
memiliki Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) asli buatan bangsa
Indonesia. Lahirnya KUHP baru ini menjadi momentum strategis berkaitan
dengan ketentuan mengenai terorisme dan pendanaan terorisme.
Pengaturan tindak pidana terorisme merupakan gambaran menarik tentang
perjalanan politik hukum pidana Indonesia dalam melakukan tindak
pidana serius.
“Tentunya ini menjadi menarik, karena di situ antara lainnya adalah
penyebaran ideologi anti pancasila dimasukan delik pidana dan
berkaitan dengan studi tidak dimasukkan dalam delik pidana,” ujar
Ketua Prodi Kajian Terorisme Sekolah Kajian Stratejik Global
Universitas Indonesia (SKSG UI), Muhamad Syauqillah, Ph.D., dalam
sambutannya mewakili Direktur SKSG UI, Athor Subroto, Ph.D., pada
diskusi bertajuk “Quo Vadis Pemberantasan Terorisme di Indonesia
Menurut KUHP Baru” beberapa waktu lalu.
Guru Besar bidang Hukum Pidana dari Universitas Indonesia (UI), Prof.
Harkristuti Harkrisnowo, SH, MA, Ph.D., yang juga menjadi anggota tim
perumus KUHP baru, menyampaikan bahwa dalam KUHP baru ini terdapat
lima misi, yaitu rekodifikasi terbuka dan terbatas, demokratisasi,
aktualisasi, modernisasi, dan harmonisasi. Pada prinsip kodifikasi
terbuka dan terbatas, pasal 187 KUHP Baru dinyatakan bahwa Buku Kesatu
KUHP berlaku juga bagi perbuatan yang dipidana berdasarkan ketentuan
peraturan perundang-undangan di luar KUHP, kecuali ditentukan lain
menurut Undang-Undang (UU).
“Mengapa perlu sekali hal ini kami rumuskan karena pada saat ini kita
juga masih punya berbagai Undang-Undang yang tidak memiliki pola yang
sama, baik dalam rumusan kriminalisasi, jenis pidana, jenis tindakan,
dan sanksinya itu sangat beragam, sehingga hal ini menimbulkan
kesulitan di dalam pembicaraan mengenai hukum pidana di Indonesia,”
ujar Prof. Harkristuti.
Ia menambahkan, rekodifikasi terbuka dilakukan karena masih ada
kemungkinan ketentuan-ketentuan lain untuk dimasukkan, terutama pada
bab khusus di dalam Bab XXXV dan prinsip ini hanya berlaku untuk lima
tindak pidana khusus. Lima tindakan khusus tersebut meliputi tindak
pidana berat terhadap
Hak Asasi Manusia (HAM), tindak pidana terorisme, tindak pidana
korupsi, tindak pidana pencucian uang, dan tindak pidana narkotika.
Ketentuan khusus ini dipilih berdasarkan beberapa kriteria, salah
satunya adalah merupakan perbuatan yang dianggap sangat jahat (super
mala per se) dan sangat terkutuk oleh masyarakat (strong people
comdemnation). Kriteria inilah yang menjadi landasan terorisme masuk
dalam KUHP Baru.
Selama ini, kata Prof. Harkristuti, pidana yang diterapkan dalam
undang-undang untuk tindak terorisme sudah menerapkan pidana yang
berat. Namun, tindak terorisme tetap terjadi. “Saya tidak berani
mengatakan bahwa KUHP baru akan mengubah. Itu karena kita tetap
memakai ketentuan tentang terorisme yang sudah ada saat ini. Banyak
sekali upaya-upaya yang sebenarnya sudah dirumuskan di dalam
Undang-Undang 5/2018, tapi memang belum semuanya itu dapat terlaksana
dengan baik,” ujar Prof. Harkristuti.
Undang-Undang No.5 Tahun 2018 adalah UU tentang tindak pidana
terorisme. Undang-undang ini menjadi aturan hukum khusus yang hingga
saat ini dipakai dalam penanganan kasus-kasus terorisme. Salah satu
yang cukup berbeda dalam KUHP baru, adalah tindak pidana terorisme dan
tindak pidana pendanaan terorisme tidak dipisahkan.
Terkait dengan pendanaan, menurut Direktur Hukum dan Regulasi, Pusat
Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), Fithriadi Muslim,
memang tidak sederhana. Dana bisa datang dari luar negeri untuk aksi
teror di Indonesia,atau bisa juga sebaliknya dikumpulkan di Indonesia
untuk aksi di luar negeri.
Dalam persoalan ini, fokus lembaga tersebut ada pada dananya.
“Pendanaan terorisme ini agak unik. Dia itu bermasalah karena
penggunaan ataupun tujuan, dari pada pemanfaatan dana tersebut. Jadi,
pendanaan terorisme itu bisa bersumber dari aktivitas yang ilegal bisa
juga bersumber dari aktivitas yang sah,” kata Fithriadi.
Kegiatan diskusi diselenggarakan oleh Direktorat Jenderal Informasi
Komunikasi Publik (Ditjen IKP), SKSG UI, dan Fakultas Hukum (FH) UI di
Novotel Tangerang. Pada pembukaan acara, turut memberikan sambutan
Dekan FHUI, Dr. Edmon Makarim, S.Kom., S.H., LL.M., dan Direktur
IKPolhukam Kementerian Kominfo, Drs. Bambang Gunawan, M.Si.
Beberapa pembicara dan penanggap lainnya yang hadir pada acara
tersebut diantaranya Kombes. Pol. Dr. Imam Subandi, S.S., S.H., M.H.;
Koordinator Kajian dan Analisis Penegakan Hukum Badan Nasional
Penanggulangan Terorisme (BNPT), Rahmat Sori Simbolon; Deputi
Direktur Bidang Program Indonesia Judicial Research Society, Adery
Ardhan Saputro, S.H., LL.M; dan Senior, Partner AdhyAksaraGautama,
Garnadi Walanda, S.H., M.Si.