Jakarta – Langkah kebijakan perlindungan dan pemulihan terhadap korban aksi terorisme pada hakikatnya merupakan bagian integral yang tidak dapat dipisahkan dari proses penegakan hukum tindak pidana terorisme. Berdasarkan konsep tersebut, tentunya peran negara dalam menciptakan suatu kesejahteraan sosial, kenyamanan dan keamanan, tidak cukup hanya terbatas pada upaya efektif penegakan hukum saja.
Lebih dari itu, negara wajib memberikan perlindungan yang sangat diperlukan bagi korban dari aksi terorisme yang memang sangat memerlukan pemulihan kerugian, baik fisik (ekonomi, kesehatan) maupun psikis (trauma).
Untuk itulah Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), melalui Subdit Pemulihan Korban Aksi Terorisme pada Direktorat Perlindungan di Kedeputian I bidang Pencegahan, Perlindungan dan Deradikalisasi menggelar Focus Group Discussion (FGD) II Penyusunan Standar Operasional Prosedur (SOP) Koordinasi Pemulihan Korban Terorisme. Acara yang digelar di Hotel Cipta, Pancoran, Jakarta, Selasa (28/8/2018) ini merupakan kelanjutan dari FGD I yang telah digelar sebelumnya pada bulan April lalu
“Fakta yang tidak dapat terbantahkan adalah jumlah korban aksi terorisme yang telah tertangani dan mendapat perhatian negara masih sangat minim. Ini karena pelaksanaan pemulihan korban aksi terorisme selama ini masih terkesan sektoral dan tidak terkoordinasi dengan baik yang berakibat menjadi penghambat percepatan pemulihan terhadap korban,” ujar Kasi Pemulihan Korban Aksi Terorisme, Muhammad Lutfi, S,IP, M.Si saat membuka acara tersebut mewakili Direktur Perlindungan BNPT yang berhalangan hadir .
Muhammad Lutfi menjelaskan, kelemahan Undang-Undang 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme yang ada saat ini sebelum adanya revisi Undnag-Undang tentang Anti Terorisme yang baru tersebut merupakan salah satu penyebab lemahnya penanganan pemulihan korban aksi terorisme.
“Untuk itu dengan adanya FGD ini sebagai upaya untuk implementasi sinergitas dari seluruh komponen masyarakat dalam upaya penanggulangan terorisme demi keamanan masyarakat dan kedaulatan bangsa yang kita cintai bersama,” ujarnya.
Karena bagaimanapun menurutnya, upaya penanggulangan terorisme bukan hanya tugas BNPT semata, tetapi diperlukan keterlibatan instansi Kementerian/Lembaga (K/L) serta semua elemen masyarakat lainnya yang akan menjadi faktor penentu yang sangat penting terhadap keberhasilan penanggulangan terorisme di negeri kita yang tercinta ini.
“Untuk itu pelibatan K/L dalam Penanggulangan Terorisme terutapa terhadap pemulihan para korban dari aksi terorisme ini sangat penting untuk memastikan peran serta dan upaya nyata berbagai pihak terhadap upaya pemulihan korban aksi terorisme selama ini,” ujar Lutfi..
Dan peran ini menurutnya tentu bukan semata-semata lahir untuk kepentingan pelaksanaan tugas dan fungsi BNPT saja, namun merupakan wujud implementasi program Nawa Cita yang dicanangkan Presiden RI Joko Widodo dan Wapres Jusuf Kalla pada butir pertama yang menyatakan menghadirkan kembali negara untuk melindungi segenap bangsa dan memberikan rasa aman pada seluruh warga negara, melalui politik luar negeri bebas aktif, keamanan nasional yang terpercaya dan pembangunan pertahanan negara yang dilandasi kepentingan nasional.
“Untuk itu, dengan penyelenggaraan FGD ini diharapkan menjadi salah satu embrio bagi tercapainya sistem perlindungan dan pemulihan korban aksi terorisme yang ideal melalui pembagian skema alur kerja diantara masing-masing instansi yang terlibat,” ujar M. Lutfi.
Untuk itu menurut M. Lutfi, dengan adanya FGD ke-II ini diharapkan dapat tersusun kerangka SOP Pemulihan Korban Terorisme berdasarkan hasil diskusi dengan K/L sebelum dilaksanakan kegiatan diskusi lanjutan yang dihadiri oleh lebih banyak instansi;
“Sehingga nantinya dapat terumuskan rencana program lanjutan dalam rangka pemulihan korban yang dikemas lebih efektif sehingga nantinya terlaksananya alur pembagian mekanisme kerja antar instansi yang memiliki tugas pokok dan fungsi terkait pemulihan korban terorisme,” katanya mengakhiri
Acara FGD ini dihadiri para perwakilan dari institusi K/L terkait seperti Kementerian Sosial, Kementerian Koperasi, Kementerian Kesehatan, Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi, Kejaksaan Agung, Densus 88/Anti Teror Polri, Bidang Kedokteran Kesehatan (Biddokkes) Polri, Dinas Sosial Provinsi DKI Jakarta, Dinas Pemadam Kebakaran DKI Jakarta dan juga para psikolog yang telah menangani para korban dari aksi terorisme.