Surabaya – Peran guru dalam menghadapi keberagaman siswa ditinjau dari
Profil Pelajar Pancasila sangat penting dalam membentuk generasi yang
berakhlak mulia, berpikiran terbuka, dan berjiwa gotong royong.
Duta Teknologi Kemendikbudristek, Raden Roro Martiningsih menuturkan,
Profil Pelajar Pancasila menekankan pada enam aspek utama, yaitu
beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berkebinekaan global,
gotong royong, mandiri, bernalar kritis, dan kreatif.
“Dalam konteks menghadapi keberagaman siswa, guru harus mampu
menerapkan nilai-nilai ini ke dalam pembelajaran dan interaksi di
kelas, sehingga setiap siswa dapat mengembangkan sikap yang
mencerminkan nilai-nilai Pancasila,” tuturnya.
Pertama, guru harus menjadi teladan dalam memupuk keimanan dan
ketakwaan pada setiap siswa, tanpa memandang perbedaan agama atau
keyakinan mereka.
Dalam lingkungan yang beragam secara agama, guru memiliki tanggung
jawab untuk mengajarkan rasa hormat terhadap keyakinan masing-masing
individu, sambil memperkuat nilai spiritual dan moral yang universal.
“Dengan cara ini, siswa tidak hanya belajar menghargai keyakinan
pribadi mereka, tetapi juga terbiasa dengan lingkungan yang
multikultural dan saling menghormati perbedaan,” jelas Martiningsih.
Kedua, guru berperan dalam menanamkan nilai berkebinekaan global, yang
merupakan aspek penting dalam Profil Pelajar Pancasila. Guru harus
mengajarkan siswa tentang pentingnya toleransi dan empati terhadap
perbedaan budaya, bahasa, suku, dan latar belakang lainnya.
Hal ini dapat dilakukan melalui kegiatan yang memperkenalkan siswa
pada budaya lokal maupun internasional, serta memfasilitasi diskusi
yang membuka wawasan siswa tentang realitas keberagaman di Indonesia
maupun dunia.
“Dengan demikian, siswa diharapkan dapat tumbuh menjadi individu yang
berpikiran terbuka dan menghargai pluralitas,” ujarnya.
Ketiga, guru harus membangun budaya gotong royong di antara siswa,
terutama dalam konteks keberagaman.
Guru dapat mendorong kolaborasi melalui kegiatan kelompok atau
proyek-proyek bersama, di mana siswa dengan berbagai latar belakang
bekerja sama untuk mencapai tujuan bersama.
“Melalui pengalaman ini, siswa akan belajar bahwa perbedaan bukanlah
penghalang, tetapi justru dapat memperkaya solusi dan pemikiran
kreatif mereka. Nilai gotong royong yang ditanamkan sejak dini akan
mempersiapkan siswa untuk berperan aktif dalam masyarakat yang
majemuk,” paparnya.
Martiningsih melanjutkan, keempat, peran guru juga meliputi
pengembangan nalar kritis dan kreativitas dalam menghadapi
keberagaman. Dalam kelas yang beragam, guru perlu mendorong siswa
untuk berpikir kritis tentang isu-isu sosial, seperti kesetaraan,
inklusivitas, dan keadilan.
Guru juga harus menantang siswa untuk mencari solusi inovatif dalam
menghadapi perbedaan, baik di lingkungan sekolah maupun dalam
kehidupan sehari-hari. Dengan demikian, siswa dilatih untuk menjadi
individu yang mampu berkontribusi secara konstruktif dalam masyarakat
yang heterogen.
Akhirnya, guru harus mendukung kemandirian siswa dalam proses belajar
mereka, dengan memberikan ruang bagi setiap individu untuk berkembang
sesuai dengan potensi dan kebutuhannya.
Dalam keberagaman, guru harus peka terhadap kebutuhan spesifik setiap
siswa, termasuk mereka yang mungkin membutuhkan pendekatan khusus.
“Dengan membimbing siswa untuk mandiri dan bertanggung jawab atas
pembelajaran mereka, guru membantu menciptakan generasi yang tangguh,
adaptif, dan siap menghadapi tantangan di era global yang penuh
keberagaman,” pungkasnya.