Peran Guru dan Orang Tua Pahami Dinamika Psikologis Kunci Pencegahan Intoleransi dan Radikalisme di Kalangan Remaja

Denpasar – Pencegahan terhadap intoleransi, radikalisme, dan terorisme di lingkungan pendidikan kini semakin menuntut peran aktif guru dan orang tua dalam memahami dinamika psikologis serta kerentanan yang dialami remaja. Upaya ini perlu menjadi fokus utama, sebab intoleransi sering kali menjadi bibit awal tumbuhnya pemahaman radikal.

Hal tersebut disampaikan Psikolog Nurani Ruhendi Putri, M.Psi., saat menjadi narasumber kegiatan Sekolah Damai bertema “Menumbuhkan Ketahanan Satuan Pendidikan dalam Menolak Paham Intoleransi, Kekerasan, dan Bullying di Bali” yang digelar di Aula Disdikpora Provinsi Bali, Denpasar, Kamis (6/11/2025).

Nurani menjelaskan bahwa masa remaja adalah fase penuh konflik batin dan pencarian jati diri yang kerap disertai pemberontakan terhadap figur otoritas seperti guru dan orang tua. Dalam periode ini, remaja cenderung lebih mendengarkan opini teman sebaya dibandingkan dengan nasihat keluarga.

“Pada usia remaja, kemampuan berpikir abstrak mulai berkembang, namun kondisi emosinya belum stabil. Kesenjangan ini membuat remaja memerlukan pendampingan agar tidak mudah terbawa arus pemikiran ekstrem. Ideologi radikal sering menjanjikan pengakuan instan bagi mereka yang haus akan penerimaan sosial,” ujar Nurani.

Ia menambahkan, perkembangan teknologi dan media sosial turut memperparah situasi. Fenomena bullying dan kekerasan kini tidak hanya terjadi secara langsung, tetapi juga melalui dunia maya (cyberbullying), di mana remaja dapat menjadi pelaku maupun korban tanpa batas ruang dan waktu.

Sebagai psikolog yang aktif melakukan konseling bagi korban dan pelaku terorisme, Nurani mengungkapkan bahwa perilaku bullying memiliki irisan dengan intoleransi—meskipun tidak semua tindakan perundungan dilandasi motif ideologis.

“Pelaku bullying biasanya memiliki empati rendah, bertindak impulsif, dan mencari validasi dari lingkungan. Pola ini bisa terbentuk dari pengalaman masa kecil yang penuh tekanan, kekerasan, atau pola asuh yang tidak sehat,” jelasnya.

Karena itu, guru dan orang tua perlu bekerja sama dalam mendeteksi dan memahami masalah emosional serta perilaku anak sejak dini. Bullying dan intoleransi, menurutnya, adalah dua gejala yang sama-sama menandakan adanya luka psikologis yang belum tertangani.

“Akan sia-sia jika guru sudah berusaha membentuk mentalitas anak agar tangguh terhadap perundungan dan paham radikal, tetapi orang tua di rumah tidak memberikan perhatian yang cukup, atau justru menerapkan pola asuh yang keras,” tegasnya.

Nurani juga menekankan pentingnya menggali pengalaman masa lalu anak, termasuk kejadian tidak menyenangkan yang pernah dialami seperti trauma atau kekerasan verbal. Pengalaman semacam itu bisa menurunkan rasa percaya diri, mengguncang kestabilan emosi, dan dalam kasus ekstrem, mendorong remaja mencari pelarian dengan bergabung ke kelompok ekstremis.

“Dengan memahami latar belakang psikologis dan emosional anak, guru dan orang tua dapat mengarahkan energi pemberontakan remaja ke arah yang positif—menjadi semangat untuk berprestasi, berkarya, dan berkontribusi bagi bangsa,” pungkasnya.

Melalui pendekatan psikologis dan sinergi antara sekolah, keluarga, dan masyarakat, diharapkan lingkungan pendidikan di Indonesia dapat menjadi ruang aman yang menumbuhkan karakter moderat, toleran, dan berwawasan kebangsaan bagi generasi muda.