Penyerangan Pastor di Medan, Bukan Settingan Aparat

JAKARTA – Pengamat terorisme berpendapat bahwa pelaku penyerangan pastor dan rencana peledakan bom di Medan minggu lalu, dilakukan oleh lone wolf. Aksi terorisme model ini semakin sering dijumpai dan pemerintah diminta untuk proaktif menanggulangi.

“ Saya yakin, penyerangan IAH ke pastor dengan membawa perangkat bahan peledak itu adalah inisiatifnya yang terinspirasi dunia internet, bukan disetting aparat. Buat apa aparat menyetting kejadian itu,” kata pengamat terorisme, Wawan Purwanto kepada media, Jumat (2/8/2016). Menanggapi berbagai pemberitaan yang sengaja ditiupkan oleh beberapa pihak soal keterlibatan aparat dalam peristiwa itu.

Menurut Wawan, IAH masuk pada katagori lone wolf yaitu pelaku sebagai pemain tunggal. “ Saya yakin dia belajar dari internet dan dia mengumpulkan bahan, dan belajar merakit. Memang tidak menutup kemungkinan dia berhubunan dengan orang lain yang men’drive’ dia,” katanya. Menurutnya, pihak ketiga itulah yang memicu IAH yang masih belia unntuk melakukan penyerangan kepada pastor.

Wawan mengingatkan bahwa dalam keseharian, IAH menunjukkan keanehan-keanehan. “ Dari sikap-sikapnya sehari-hari, dia sudah menunjukkan keanehan-keanehan. Misalnya dia bersalaman dengan orang lain dengan memakai sarung tangan dan tidak mau bersentuhan langsung. Belum lagi dalam kehidupan sehari-hari, dia menunjukkan keanehan,” kata Wawan.

Pada pendalaman pihak kepolisian yang dilakukan terhadap IAH dan beberapa saksi, pelaku memang menunjukkan banyak keanehan dalam kepribadiannya, semisal seringnya mengurung diri di kamar. Dalam sehari memang keluar, tapi kemudian mengurung diri lagi di kamar. “ Itu adalah ciri-ciri bahwa dia terkontaminasi dengan hal-hal berbau radikal dan terorisme,” kata Wawan.

Wawan memang mengakui bahwa pengaruh radikalisme yang berasal dari internet adalah border lack (kurangnya pembatasan) . “ Itu adalah border lack dan agak sulit ditanggulangi. Selama ini setiap akun radikal yang ditutup, akan muncul lagi nama dan akun lain yang juga radikal. Selalu begitu,” kata Wawan.

Menurut Wawan, Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo)harus lebih progresif menutup akun-akun radikal itu dengan rekomendasi dari pihak berwenang seperti Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT). “Pemerintah sebaiknya jangan memberi peluang bagi akses radikal itu untuk tumbuh subur di kalangan generasi muda Indonesia. Begitu muncul, tutup lagi, muncul lagi, tutup lagi, begitu terus agar radikalisme tidak tidak bisa tumbuh subur. Yang repot kan karena mereka mendownload konten-konten itu dari luar negeri. Maka pemerintah dalam hal ini Kemenkominfo harus proaktif menutup. Sebagai bangsa berdaulat, kita harus memproteksi diri,” kata Wawan.

Karena itu, menurut Wawan peran keluarga sebagai salah satu sarana proteksi dari pengaruh radikalisme sangat sentral dan penting.

“ Bagi saya peran keluarga dan dunia pendidikan sangat sentral untuk melindungi anak-anak dan remaja dari pengaruh radikalisme. Bagaimanapun juga, keluarga adalah orang terdekat bagi anak. Keluargalah yang harus terus mengawasi gerak gerik sehari-hari dari putra putri mereka. Orang tua harus aktif mengontrol pemakaian internet dan gadget anak-anak mereka agar terhindar dari konten radikal. Jika anak terpapar radikalisme dari internet, maka itu adalah kesalahan orang tua. Karena pada dasarnya anak-anak yang terpapar beum cukup matang dalam bertindak dan itu membutuhkan peran orangtua,” kata Wawan.