Jakarta – Mendeteksi paham dan gerakan radikalsme-intoleransi yang menginfiltrasi di setiap sektor kehidupan masyarakat tentunya cukup rumit. Karena itulah, deteksi dini terhadap radikalisme harus dibangun secara semesta dengan melibatkan masyarakat. Untuk itu perlu peran masyarakat dan ketahanan sosial dalam melakukan deteksi dini terhadap potensi radikalisme dan intoleransi.
Guru Besar Sosiologi dari Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia (FISIP UI) Prof. Iwan Gardono Sujatmiko, Ph.D, mengatakan bahwa di sekolah, tempat kerja dan organisasi sudah harus ada aturan-aturan, untuk mengatasi masalah-masalah yang berkaitan dengan radikalisme dan intoleransi itu.
”Aturan-aturan internal ini perlu merujuk pada perundang-undangan yang berlaku sehingga akan efektif jika ada pelaku tindakan radikal dan intoleransi ini. Pencegahan secara semesta atau pagar betis akan efektif jika telah ada dan jelas para pelaku tindakan radikal negatif tersebut sudah melanggar ideologi dan konstitusi seperti dalam kasus konflik separatis bersenjata yang didasarkan agama atau etnik,” ujar Prof Iwan Gardono di Jakarta, Senin (2/2/2021).
Lebih lanjut Prof Iwan mengatakan bahwa, upaya untuk melakukan deteksi dini radikalisme oleh masyarakat merupakan masalah yang kompleks. Untuk mengatasi hal ini perlu optimalisasi peran negara dan peningkatan Ketahanan Sosial. ”Penangkalan radikalisme-kekerasan dan potensi terorisme ini tentunya berbeda dengan penangkalan kejahatan kriminal biasa, maka perlu definisi yang jelas untuk itu,” tuturnya
Menurutnya, perlu dijelaskan juga kepada publik radikalisme mengenai apa saja dan siapa saja yang bisa masuk kategori radikalisme tersebut. :Sehingga publik nantinya akan mudah memahami kalau suatu tindakan tertentu berpotensi radikal -khususnya yang ada kekerasan– tersebut memang melanggar hukum dan jelas sanksinya dalam pasal dan ayat yang mana,” katanya.
Karena deteksi dini untuk menangkal radikalisme tersebut apalagi jika pemahamannya berbeda atau bertentangan justru dapat menimbulkan kecurigaan, ketidak percayaan (”distrust”), atau fitnah yang dapat merusak modal sosial dan budaya komunitas tersebut. ”Karena mayoritas warga tidak mempunyai kompetensi dan kapasitas untuk menduga apakah seseorang mempunyai potensi radikalisme atau terorisme,” tuturnya.
Namun demikian ada pula masyarakat yang kurang peduli terkait upaya me;akukan deteksi dini tersebut. Menurut Prof. Iwan hal ini disebabkan oleh beberapa kemungkinan: Pertama, tiadanya kejelasan peta peran mereka dalam mengatasi masalah intoleransi, radikalisme-kekerasan dan potensi menjadi terorisme.
”Mayoritas dari mereka telah disibukkan dengan kehidupan sehari-hari dan saat ini mereka fokus pada masalah Covid-19 dan implikasi ekonomi dan sosialnya,” katanya.
Kedua, masyarakat secara umum melihat bahwa upaya menangkal radikalisme-kekerasan ini merupakan tugas utama pemerintah dan aparat keamanan. ”Hal ini dianggap berbeda dengan berbagai organisasi masyarakat telah aktif berperan menjaga keamanan seperti Kelompok Keamanan lingkungan atau ronda. Model seperti ini lebih dianggap berguna karena menyangkut langsung keselamatan jiwa dan harta warga,” ujarnya.
Maka dari itu dirinya juga menyebutkan bahwa pemerintah dan aparat keamanan harus lebih mengoptimalkan lagi penegakan hukum dan juga di media massa dan ranah maya atau Cyber Patrol guna mencegah potensi intoleransi, radikalisme-kekerasan dan terorisme.
Oleh karena itu, peraih gelar Doktor Sosiologi dari Havard University, Amerika Serikat itu menyampaikan bahwa perlu peran dari Babinkamtibmas dan Babinsa dengan fungsi intelijennya yang disertai dukungan pihak RT dan RW. Seperti aturan tamu yang lebih dari 24 jam wajib lapor ke Ketua RT.
”Pemolisian masyarakat diperlukan untuk mendeteksi radikalisme dan intoleransi ini. Karena dengan keterlibatan aktif dari masyarakat ini dapat menurunkan potensi radikalisme dan intoleransi di masyarakat,” ucapnya.
Pria yang juga anggota kelompok ahli BNPT bidang Sosiologi itu mengungkapkan bahwasannya peran aktif dari masyarakat ini juga harus dibarengi dengan jaminan anonimitas atau kerahasiaan pelapor tersebut.
”Pemolisian masyarakat diperlukan untuk mendeteksi radikalisme dan intoleransi ini. Karena dengan keterlibatan aktif dari masyarakat ini dapat menurunkan potensi radikalisme dan intoleransi di masyarakat,” ucap Sosiolog itu.
Pria yang juga anggota kelompok ahli BNPT bidang Sosiologi itu mengungkapkan bahwasannya peran aktif dari masyarakat ini juga harus dibarengi dengan jaminan anonimitas atau kerahasiaan pelapor tersebut. Maka dari itu dirinya juga menyebutkan bahwa pemerintah juga harus lebih mengoptimalkan lagi pencegahan potensi radikalisme dan intoleransi melalui organisasi teritorial maupun dalam media massa dan ranah maya atau Cyber Patrol.
”Pemerintah perlu mendukung upaya masyarakat yang bersifat promotif untuk meningkatkan toleransi dan kohesi sosial atau meningkatkan’imunitas’ terhadap radikal negatif dan terorisme,” terangnya.
Selain itu, Iwan menuturkan bahwa dalam bidang kesehatan terdapat ’Paradigma Sehat’ atau upaya promotif peningkatan kesehatan yang bukan hanya pencegahan (preventif) dan penyembuhan (kuratif). ”Pola serupa perlu diberlakukan juga dalam pencegahan potensi radikalisme-kekerasan dan terorisme berupa peningkatan Ketahanan Sosial di tingkat keluarga, sekolah, tempat kerja dan komunitas,” ujarnya.
Dirimya mengungkapkan bahwa salah satu pelaksanaan yang paling efisien dan efektif adalah dengan melakukan sosialisasi melalui e-book/module video yang dikirimkan pada guru dan siswa di sekolah-sekolah, komunitas maupun di tempat kerja dan juga disosialisasikan melalui media massa dan media sosial.
”Sosialisasi tersebut berisi pembahasan dan perdebatan kritis, berbasiskan argumentasi-argumentasi hasil riset oleh tokoh masyarakat dan pakar ilmu sosial, humaniora dan keagamaan,” katanya
Sosialisasi tersebut menurutnya juga perlu menjelaskan bagaimana kohesi, modal sosial, gotong royong dan kerukunan sosial perlu diperkuat bukan hanya untuk mencegah radikalisme-kekerasan dan terorisme, melainkan juga untuk mendukung pembangunan ekonomi, sosial dan politik di era globalisasi yang semakin kompetitif.
”Dalam hal ini sangat diperlukan kondisi politik yang dinamis-konstruktif, ketertiban hukum, kebijakan dan keadilan sosial guna mendukung ekosistem Ketahanan Sosial tersebut” ujarnya mengakhiri.