Jakarta – Dalam rangka mengikis habis sebaran ujaran kebencian dan berita hoax di masyarakat, pemerintah, melalui kepolisian, mengaku akan memaksimalkan penegakan hukum. Disampaikan oleh Kepala Biro Penerangan Masyarakat Divisi Humas Polri, Brigjen Rikwanto, orang yang menyebarkan informasi palsu (hoax) di dunia maya akan dijerat dengan pasal berlapis sesuai dengan hukum yang berlaku di negeri ini.
Beberapa pasal yang siap ditimpakan kepada penyebar hoax tersebut antara lain, KUHP, Undang-Undang No.11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE), Undang-Undang No.40 Tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis, serta tindakan jika ujaran kebencian yang disebar tersebut menyebabkan terjadinya konflik sosial. Tidak hanya itu, penyebar berita palsu juga dapat dikenakan pasal terkait ujaran kebencian dan yang telah diatur dalam KUHP dan UU lain di luar KUHP.
Ujaran kebencian yang dimaksud meliputi; penghinaan, pencemaran nama baik, penistaan, perbuatan tidak menenangkan, memprovokasi, menghasut, dan penyebaran berita bohong. “Jadi, hoax ini harus ada yang dirugikan, baik itu seseorang atau korporasi yang merasa dirugikan. Kalau enggak ada, ya cenderung gosip di dunia maya. Perlu ada obyek dan subyek dari hoax ini,” ujar Rikwanto di Jakarta belum lama ini.
Lebih lanjut Rikwanto mejelaskan bahwa ujaran kebencian umumnya ditujukan untuk menghasut dan menyulut kebencian, baik terhadap individu maupun terhadap kelompok masyarakat tertentu. Isu-isu yang kerapkali ‘digoreng’ untuk menyulut kebencian ini antara lain suku, agama, aliran keagamaan, keyakinan/kepercayaan, ras, antargolongan, warna kulit, etnis, gender, kaum difabel, hingga orientasi seksual.
“Ujaran kebencian atau hate speech ini dapat dilakukan dalam bentuk orasi kampanye, spanduk, jejaring media sosial, penyampaian pendapat di muka umum, ceramah keagamaan, media massa cetak maupun elektronik, sampai pamflet,” tuturnya.
Sementara itu, Direktur Jenderal Aplikasi Informatika Kementerian Komunikasi dan Informatika, Semuel Abrijani Pangerapan menjelaskan bahwa dasar hukum untuk penanganan konten negatif saat ini telah tercantum dalam perubahan UU ITE terbaru.
Pasal yang dimaksud adalah Pasal 40 ayat (2) Undang-Undang No.19 Tahun 2016 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang No.11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, Pasal 40 ayat (2a) Undang-Undang No.19 Tahun 2016 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang No.11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Lalu, Pasal 40 ayat (2b) Undang-Undang No.19 Tahun 2016 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang No.11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, hingga Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika No.19 Tahun 2014 tentang Penanganan Situs Bermuatan Negatif.
“Kalau berita-berita itu menimbulkan kebencian, permusuhan, dan mengakibatkan ketidakharmonisan di tengah masyarakat. Sanksinya hukuman (pidana penjara) selama enam tahun dan/atau denda Rp1 miliar,” jelasnya.