Jakarta – Perayaan Hari Raya Waisak tahun ini yang berdekatan dengan Hari Kebangkitan Nasional, memberikan momentum penting bagi Indonesia untuk merenungkan semangat persatuan dan kesatuan yang diusung oleh Budi Utomo serta nilai-nilai luhur ajaran Buddha. Dua peristiwa bersejarah ini menjadi kesempatan untuk memperkuat ikatan kebangsaan dan keharmonisan antarumat beragama demi mewujudkan Indonesia yang damai dan sejahtera.
Menguraikan semangat patriotisme era modern dalam Hari Kebangkitan Nasional, serta kaitannya dengan ajaran Buddha, Ketua Umum Persatuan Umat Buddha Indonesia (Permabudhi) periode 2022-2026, Prof. Dr. Philip Kuntjoro Widjaja, menjelaskan pentingnya mengingat kembali nilai persatuan dan kesatuan yang dulu diusung oleh organisasi Budi Utomo.
“Saya kira nasionalisme di zaman Budi Utomo sudah terbentuk, walaupun pemahaman akan kepentingan nasional masih kabur. Saat ini, semua orang sudah merasa dirinya adalah Indonesia. Namun, kita perlu langkah yang lebih konkret untuk memperjelas dan memperkuat nasionalisme. Dalam agama Buddha, misalnya, organisasi seperti Persatuan Umat Buddha Indonesia, bekerja keras untuk menciptakan kesatuan dan persatuan sesuai dengan kebijakan moderasi beragama yang digulirkan pemerintah,” ujar Prof Phillip, Jakarta, Rabu (22/5/2024).
Moderasi beragama menjadi narasi yang memiliki urgensi tinggi demi mengisi ruang publik yang terlalu sesak dengan propaganda kaum radikal. Ancaman doktrinasi ekstrem kanan atau ideologi transnasional agaknya perlu diimbangi dengan menjelaskan kembali falsafah Indonesia, sesuai dengan yang dirumuskan oleh para pendiri bangsa.
Menurut Prof. Philip, kearifan lokal adalah fondasi yang harus dipertahankan. Pemikiran dari luar yang tidak sejalan dengan kearifan lokal bisa membawa perubahan, baik yang positif maupun negatif. Maka, dalam memandang masalah, masyarakat harus mengambil sikap yang tepat dan memastikan hal tersebut sejalan dengan nasionalisme Indonesia.
“Penting untuk membangun komunikasi lintas agama yang baik untuk mengurangi ketegangan dan meningkatkan pemahaman antarumat beragama. Dengan saling memahami dan menghormati, kemungkinan terjadinya gesekan bisa diminimalkan, dan kita dapat bekerja sama membangun bangsa, serta meminimalisasi dampak ideologi transnasional,” terangnya.
Sebagai akademisi yang aktif di berbagai kegiatan sosial, Prof. Philip juga mengulas tema perayaan Waisak di tahun ini, yaitu “Kesadaran Keberagaman, Jalan Hidup Luhur, Harmonis, dan Bahagia” serta penerapannya dalam dunia nyata.
“Tema ini tentunya bukan hal yang baru, tapi selalu relevan untuk diingatkan kembali, terutama saat dunia sedang berguncang. ‘Kesadaran Keberagaman, Jalan Hidup Luhur, Harmonis, dan Bahagia’ perlu terus diingatkan untuk membentuk NKRI yang solid dan kuat. Melalui berbagai kegiatan lintas agama, kita dapat memperkuat ikatan persaudaraan dan saling memahami, yang pada akhirnya menciptakan masyarakat yang harmonis dan bahagia,” tambahnya.
Kesadaran keberagaman yang dibangun ditopang dengan keinginan untuk membangun komunikasi dengan berbagai pihak. Komunikasi yang efektif diharapkan mampu mereduksi gesekan horizontal yang mungkin terjadi karena kesalahpahaman. Menurut Prof. Philip, pendekatan dengan berkomunikasi tetap menjadi hal yang dikedepankan dalam menghadapi situasi yang memanas.
“Komunikasi tetap menjadi kunci. Dengan membuka dialog, kita bisa menawarkan solusi untuk mengurangi ketegangan dan menyadarkan pihak-pihak yang mengganggu. Ini sudah saya lakukan dari waktu ke waktu, baik di Indonesia maupun di berbagai pelosok dunia melalui interfaith action. Komunikasi yang baik bisa membuka pikiran dan hati, sehingga tindakan-tindakan negatif bisa diminimalkan atau bahkan dibatalkan,” imbuhnya.
Lebih lanjut, ia mengungkapkan bahwa memahami pentingnya komunikasi efektif yang mampu menjembatani berbagai perbedaan tentu bukanlah tugas pemuka agama atau tokoh masyarakat saja. Masyarakat pada umumnya harus merasakan kebutuhan yang sama akan hidup berdampingan dalam kedamaian. Dengan demikian, masyarakat sebagai civil society bisa berkontribusi mewujudkan Indonesia yang harmoni sesuai dengan kemampuannya.
Pemuka agama Budha yang aktif dalam kegiatan lintas keimanan ini pun mengingatkan bahwa ketahanan nasional tidak hanya bergantung pada kebijakan pemerintah, tapi juga partisipasi aktif masyarakat. Selain itu, kesejahteraan dan tingkat pendidikan yang baik bagi masyarakat adalah kunci membangun resiliensi terhadap ideologi transnasional.
“Rakyat yang sejahtera dan terdidik cenderung lebih tenang dan bisa berpikir jernih, sehingga lebih mudah untuk diajak bekerja sama menjaga keutuhan bangsa. Penting bagi kita untuk membawa pesan damai ini ke masyarakat luas, khususnya pada umat masing-masing agama. Hal ini bisa dilakukan melalui kegiatan sosial yang melibatkan semua, seperti gerakan lingkungan bersih dan manajemen sampah,” ungkapnya.
“Dengan semangat Hari Kebangkitan Nasional dan Waisak, mari kita sinergikan upaya kita semua untuk menciptakan Indonesia yang damai, rukun, dan sejahtera,” pungkas Prof. Philip.