Jakarta – Dalam melakukan pendekatan dan mendampingi para narapidana maupun mantan narapidana kasus terorisme (napiter) tentunya harus menggunakan hati nurani. Karena dengan hati nurani, para napiter maupun mantan napiter yang sebelumnya keras, bisa dilembutkan kembali hati dan pikirannya .
Hal itu disampaikan oleh Imam Besar Masjid Istiqlal Prof. Dr. Nasaruddin Umar M.A saat menghadiri kegiatan Peran Tokoh Agama sebagai Pendamping Mitra Deradikalisasi bersama Kepala Balai Pemasyarakatan (Kabapas) dan Pembimbing Pemasyarakatan (PK) Direktorat Jenderal Pemasyarakatan (Ditjen PAS) Kemenkum HAM yang diadakan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) bertempat di Hotel Aryaduta, Jakarta (19/04/17).
“Sejahat apupun orang, tidak akan ada yang jahat 100 persen, begitupun sebaliknya. Sebaik apapun orang, tidak ada yang baik 100 persen, selalu ada ruang untuk malaikat dan setan didalam hatinya. Ketika ruang berisi malikat itu disentuh dengan hati nurani, keikhlasan, ketulusan, disaat itulah akan luluh kejahatan di dalam hatinnya,” ungkap Prof Nasaruddin Umar.
Menurut pria yang juga anggota kelompok Ahli BNPT ini, pentingnya menyentuh hati para napiter dan mantan napiter ini agar dapat melunakan hati dan pikiran mereka dari yang tadinya bersifat keras menjadi lunak.
“Soft approach itu sangat perlu, kita perlu menyentuh hati mereka, menyentuh sisi kemanusiaannya, jangan ada sekat dengan mereka, sehingga mereka merasa nyaman hingga akhirnya tidak lagi radikal,” ujarnya.
Prof Nasarudin juga mengingatkan pentingnya tidak mengucilkan atau selalu menyalahkan para pelaku terorisme tersebut, mengingat sebagian besar dari para pelaku juga merupakan korban, yaitu korban dari kesalahan pahaman beragama dan korban dari jebakan khusus yang dibuat oleh orang-orang yang memang sengaja menjerumuskan mereka.
“Para mantan napiter dan napiter itu jangan dikucilkan, jangan terus-terus disalahkan, karena mereka juga victim, mereka juga korban dari ketidak tahuan terhadap agama, dan itu yang dimanfaatkan oleh guru-gurunya untuk meradikalkan mereka,” kata pria yang juga Rektor Perguruan Tinggi Ilmu Al-Quran (PTIQ) Jakarta ini
Prof Nasaruddin mengatakan, para napiter atau mantan napiter itu ibarat lampu semprong yang sudah tebal asap hitamnya. Dimana kacanya itu gelap sehingga cahayanya tidak terlihat, sehingga peran Kabapas dan PK sangat dibutuhkan untuk membersihkannnya.
“Kalo kita ibaratkan lampu semprong yang sudah hitam kacanya, cahayanya ada, cuman tidak terlihat. Harus dicuci dulu dan dibersihkan dulu. Peran bapak dan ibu lah untuk mencucinya setiap hari, sedikit demi sedikit, walaupun asapnya tebal ,tetapi kalo terus-terusan dicuci, cahayanya akan terlihat juga,” ungkap mantan Wakil Menteri Agama RI ini.
Terakhir, alumni Pasca Sarjana dari IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta ini menyampaikan apresiasinya terhadap pekerjaan yang dilakukan Kabapas, Kalapas, Pamong dan PK dalam menderadikalisasi para napi dan mantan napiter. Menurutnya pekerjaan yang mereka kerjakan adalah suatu pekerjaan yang mulia,
“Saya sangat mengapresiasi pekerjaan Bapak Ibu yang tiap hari berhadapan langsung dengan mereka, mendampingi, membimbing mereka, sangat mulia, Mursyid kalo kata saya, lebih mulia dari ulama, terancam keamanannya, terancam keluarganya, jadi saya sangat apresiasi dan berterima kasih,” kata pria yang pernah menjabat sebagai Dirjen Bimas Islam Kementerian Agama ini mengakhiri.