Jakarta – Indonesia dikenal sebagai negara berbagai keragamaan atau Bhinneka Tunggal Ika. Dengan ideologi Pancasila, keragaman itu berhasil dikelola dengan baik. Alhasil meski berbeda-beda, bangsa Indonesia bisa hidup berdampingan dengan baik.
Kepala Puslitbang Bimas Agama dan Layanan Keagamaan Balitbang Kementerian Agama, Prof Muhammad Adlin Sila mengatakan, pengelolaan keragaman masyarakat Indonesia bisa menjadi rujukan dunia jika mampu menjadi penguat relasi sosial antar elemen bangsa. Untuk menegaskan realitas keragamaan itu, Kementerian Agama pun terus menggalakkan program moderasi beragama.
Prof Adlin menjelaskan, urgensi dari penguatan moderasi beragama adalah menegaskan realitas keragaman bahasa, budaya, dan agama yang telah menjadi identitas bangsa Indonesia dan memiliki nilai strategis dalam kancah dunia Internasional.
“Sebagai bangsa yang multikultur dan multietnis, ini adalah sebuah pertaruhan. Jika keragaman tersebut menjadi penguat relasi sosial antar elemen bangsa, maka dunia akan merujuk ke Indonesia sebagai contoh ideal dalam pengelolaan keragaman,” ujar Adlin di Jakarta, Selasa (13/10/2020).
Apalagi, lanjut dia, secara demografis Indonesia adalah negara dengan pemeluk Islam terbesar, dan Indonesia selalu menjadi perhatian dunia dalam melihat kehidupan umat Islamnya. Jika Indonesia tidak berhasil mengelola kehidupan agama sebagai pilar kerukunan, kata dia, maka akan berdampak pada percaturan Islam di dunia Internasional.
“Stabilitas dunia Islam akan terdampak jika bangsa Indonesia gagal mengelola keragaman di sekitarnya,” ucapnya.
Ia menuturkan, masalah agama adalah satu faktor yang sangat sensitif di setiap negara, termasuk di Indonesia. Bahkan, menurut dia, solidaritas atas nama agama terkadang melampaui ikatan-ikatan primordial lainnya, seperti ikatan kesukuan dan ikatan kekerabatan.
“Maka, bagi Indonesia dengan tingkat keragaman yang sangat luas, penataan hubungan antar dan intra umat beragama dalam kerangka NKRI mendapatkan perhatian khusus,” katanya.
Dia menambahkan, gagasan moderasi beragama yang terus digaungkan pemerintah tidak berarti mengupayakan penyatuan agama, karena bagaimanapun agama-agama tidak akan pernah mungkin disatukan.
“Jadi bukan bagaimana mewujudkan persatuan antara umat beragama, tetapi bagaimana belajar berbeda dan menerima perbedaan itu sebagai sesuatu keniscayaan,” pungkas Adlin.