Jakarta – Paham radikal dalam konteks membawa seruan jihad di ajaran Islam sudah menyelusup dalam kehidupan bermasyarakat di Indonesia. Seruan jihad itu kemudian dimanipulasi tafsir agar tumbuh subur dan sejalan dengan tujuan paham tersebut.
Namun, harapan untuk menyuburkan paham radikal di Indonesia itu ternyata tak seindah harapan dan rencana. Kepolisian RI sebagai garda terdepan keamanan dan pengamanan di masyarakat acap kali bisa menumpasnya. Bahkan sampai ke jaringan terkecil yang terlihat samar dalam kehidupan masyarakat pun bisa ditumpas.
Efeknya, penganut paham radikal yang bisa juga disebut sebagai teroris punya dendam kesumat keblinger terhadap polisi. Pada rencana-rencana berikutnya, posisi polisi pun ‘digeser’ sebagai musuh utama mereka. Tragedi berdarah di Mako Brimob Kelapa Dua, Depok, Rabu (9/5) lalu, menjadi bukti teranyar dari ‘pergeseran’ itu.
Pandangan umum ini disampaikan Pengamat Terorisme, Berman Nainggolan Lumbanraja kepada damailahindonesiaku di Jakarta, Kamis (10/5).
“Jumat, 4 Mei, Densus 88 Polri menangkap tiga terduga jaringan teroris di Bogor. Dalam rilisnya, Mabes Polri mengatakan mereka sudah menyiapkan rencana untuk menyerang tiga markas polisi. Hanya lima hari berselang, rencana itu ternyata jadi kenyataan di Mako Brimob Kelapa Dua,” urai Berman yang juga menjabat sebagai ketua umum LSM Forum Komunikasi Masyarakat untuk Transparansi (FORSI).
Menurut Berman, tragedi di Mako Brimob itu dalam catatannya merupakan kejadian kali kesembilan kelompok paham radikal menyerang polisi secara terbuka. “Kejadian pertama adalah tragedi bom Sarinah Thamrin pada Januari 2016. Dua polisi ditembak pelaku paham radikal di jalan raya paska ledakan bom di Sarinah,” ucapnya.
“Kemudian ada juga serangan pelaku paham radikal ke pos penjagaan Mapolda Sumatera Utara pada Juni 2017 yang menewaskan satu polisi yakni Aiptu Martua Sigalingging akibat ditikam pelaku.”
“Masih di bulan yang sama dua polisi kembali kena tikam pelaku paham radikal usai shalat Isya di Masjid Falatehan dekat Mabes Polri. Dan masih ada beberapa kejadian lagi dengan polisi sebagai target korbannya,” jelas Berman.
Teroris, lanjut Berman, saat ini juga sudah menganggap polisi sebagai near enemy atau musuh terdekat untuk dijangkau. Terlebih jika mereka sedang bertugas di tempat terbuka dan minim pengamanan.
Selain didasari dendam kesumat keblinger akibat banyaknya keberhasilan Polri lewat Densus 88 menumpas jaringan teroris, sambung Berman, kerapnya polisi jadi target serangan teroris juga dipengaruhi fatwa juru bicara ISIS, Abu Muhammad Al-Adnani pada 2014 lalu.
Dalam fatwanya kala itu, Al-Adnani menyerukan agar para pendukung khilafah menyerang semua simbol thaghut. Thaghut yang disebutkan itu sebenarnya punya beberapa pemahaman. Namun yang disodorkan Al-Adnani kepada para pendukungnya, termasuk pendukung di Indonesia, lebih diarahkan ke pemahaman sosok iblis, kafir dan pengingkaran terhadap hukum-hukum Allah SWT.
Polri, kata Berman, dianggap sebagai tentara thogut karena negara Indonesia juga sudah diartikan sebagai negara thaghut atau negara kafir. Cita-cita ISIS yang ingin mendirikan ke-khilafahan sangat bertentangan dengan Pancasila.
“Karena itulah penganut paham radikal atau teroris menganggap upaya menyerang, melukai dan membunuh polisi sebagai bentuk perlawanan terhadap thaghut. Sangat keblinger sebenarnya jika dipahami dengan otak waras,” tegas Berman.