Washington – Seorang perempuan Amerika Serikat bernama Hoda Muthana mengaku menyesal telah bergabung dengan kelompok ISIS dan menjadi pengantin pejuang kelompok teroris tersebut di Suriah.
Setelah keruntuhan ISIS, Muthana kini tinggal di kamp penampungan pengungsi di Suriah bersama anak laki-lakinya berusia 2 tahun bernama Adam. Ia mengaku ingin pulang ke kampung halamannya di Alabama, AS.
“Saya menyesali segala hal yang dilakukan ISIS,” kata Muthana saat diwawancara NBC di kamp pengungsian Al-Roj, timur laut Suriah akhir pekan lalu.
Muthana mengaku kabur ke Suriah untuk bergabung dengan ISIS pada 2014 di masa-masa awal kemunculan kelompok pimpinan Abu Bakar al-Baghdadi tersebut.
Sejak 2014, Muthana sudah menikahi tiga pejuang ISIS. Ketiganya dikabarkan tewas dalam pertempuan. Berdasarkan dokumen lembaga Counter Extremism Project, Muthana juga terlibat aktif dalam propaganda ISIS selama ini.
Ia pernah mendesak para simpatisan ISIS di AS untuk meluncurkan serangan teror di Negeri Paman Sam. Dia juga mendukung serangan teror di kantor majalah Charlie Hebdo di Perancis pada 2015 lalu yang menewaskan 12 orang.
Namun ia mengaku tidak pernah mendukung eksekusi mati dan serangan bom bunuh diri yang selama ini dilakukan ISIS.
“Saya tidak mendukung pemenggalan yang dilakukan ISIS sejak hari pertama saya di sini. Sampai saat ini, saya tidak mendukung segala bentuk tindakan kriminal dan serangan bunuh diri mereka,” kata Muthana, dikutip AFP, Senin (11/11).
Sejak keruntuhan ISIS dalam beberapa tahun terakhir, AS telah memulangkan sejumlah warganya yang bergabung dengan dalih jihad. Setidaknya ada tujuh perempuan pengantin ISIS bersama anak-anaknya,minus Muthana yang telah kembali ke AS.
Otoritas AS beralasan pihaknya tidak mengizinkan Muthana pulang lantaran bukan warga negara AS, meski ia lahir dan pergi menggunakan paspor Negeri Paman Sam.
Washington berargumen bahwa Muthana merupakan anak seorang diplomat Yaman. Ia lahir di AS ketika sang ayah bertugas di sana.
Menteri Luar Negeri AS, Mike Pompeo bahkan menganggap Muthana sebagai seorang teroris. Sementara itu, dalam hukum AS, anak-anak ekspatriat dan diplomat asing tidak mendapatkan hak kewarganegaraan.
Meski telah ditolak, Muthana tetap mengajukan banding ke pengadilan agar bisa diterima AS untuk pulang.
“Saya merupakan warga AS dan saya memiliki dokumen resmi yang bisa membuktikannya. Saya sama seperti warga AS kebanyakan yang khas dengan rambut pirang dan mata biru. Saya ingin tinggal di AS dan melakukan hal-hal seperti layaknya warga AS,” kata Muthana.
“Siapa pun yang percaya kepada Tuhan pasti percaya bahwa setiap orang pantas mendapatkan kesempatan kedua, tidak peduli betapa berbahayanya dosa yang mereka lakukan.”