Jakarta – Aksi teror kepada anggota Polri kembali masif pada beberapa hari terakhir. Seperti kasus Wakapolres Karanganyar Kompol Busroni dan anggotanya diserang orang tak dikenal dengan senjata tajam di jalur pendakian Gunung Lawu Pos Cemara Kandang, Kabupaten Karanganyar, Minggu (21/6). Sehari sebelumnya, Mako Brimob Polda Sulawesi Tenggara juga dimasuki oleh seorang pria dengan berteriak-teriak.
Kemudian pada tanggal 1 Juni 2020, pelaku yang menggunakan atribut yang menyerupai dengan simbol ISIS menyerang anggota Polri di Markas Polsek Daha Selatan, Kab Hulu Sungai Selatan, Kalimantan Selatan.
Terkait hal itu, analisis intelijen dan terorisme Universitas Indonesia Stanislaus Riyanta mengatakan fenomena polisi yang kembali kerap menjadi target dari aksi teror tak lepas dari UU Nomor 5 Tahun 2018 tentang Terorisme.
“Kelompok teroris saat ini semakin terdesak terutama sejak kewenangan pencegahan dalam penanggulangan terorisme diperkuat dengan UU Nomor 5 Tahun 2018,” ujar Stanislaus, dikutip dari laman Tribunnews.com, Selasa (23/6/2020).
Dia menjelaskan kelompok teroris di Indonesia yang berafiliasi dengan ISIS seperti JAD dan MIT menganggap polisi sebagai musuh yang harus diperangi, dan diberi stigma sebagai thaghut.
Hal ini terjadi karena polisi, terutama Densus 88 Antiteror berada di garis terdepan untuk memberantas terorisme.
Aksi Densus 88 untuk melakukan berbagai tindakan yang perlu untuk mencegah terjadinya aksi terorisme termasuk tindakan tegas menjadi salah satu penyebab kelompok teroris menjadikan polisi sebagai musuh.
Stanislaus memprediksi aksi teror kepada polisi ke depan akan didominasi oleh serangan lone wolf atau tunggal, karena aksi-aksi yang dilakukan oleh kelompok akan terdeteksi lebih cepat.
“Fenomena ini diperkirakan akan masih terus terjadi, mengingat aksi terorisme belum dapat dipastikan berhenti saat ini. Terdesaknya ISIS di Timur Tengah justru akan menguatkan aksi-aksi di dalam negeri mengingat kelompok teroris di Indonesia yang berafiliasi dengan ISIS justru akan memusatkan aksinya di Tanah Air,” kata dia.
Untuk itu, Stanislaus mengimbau Polri harus selalu waspada terhadap ancaman dari kelompok teroris. Dia menilai kerjasama dengan masyarakat sipil perlu dilakukan untuk menciptakan kemampuan deteksi dini dan cegah dini terorisme.
“Ini penting dilakukan karena para pelaku ini akan bersembunyi di tengah-tengah masyarakat dan yang paling memungkinkan untuk mendeteksi keberadaan mereka pertama kali adalah keluarga terdekat atau masyarakat. Tanpa kerja sama yang erat antara aparat penegak hukum, pemerintah, dan masyarakat maka terorisme sangat sulit ditanggulangi,” tandasnya.