Jakarta – Aksi kekerasan yang dilancarkan Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB) di Papua ini bukanlah yang pertama kali. Sejak 2017 hingga 2023, tercatat KKB telah membantai lebih dari 34 warga sipil dan 12 aparat keamanan. Ini jelas kejahatan kemanusiaan yang tidak bisa dibenarkan atas nama apa pun. Terlebih, yang menjadi objek pembantaian kebanyakan adalah warga sipil, yang dalam hukum perang (law humaniter) sekali pun, terlarang diserang dan diperangi.
Hal ini juga menjadi perhatian tersendiri bagi Kepala Program Studi Kajian Terorisme, Universitas Indonesia, Muhammad Syauqillah, M.Si, Ph.D. Dirinya menilai rentetan aksi teror yang dilakukan oleh KKB kepada masyarakat sekitar menambah urgensi penanganan masalah ini ditengah gencarnya pembangunan infrastruktur oleh pemerintah demi kesejahteraan Papua.
“Padahal kita perlu melihat bagaimana masa depan pembangunan Papua seperti apa kedepannya. Kalau misalkan terus-menerus ada konflik seperti ini ya tentunya Papua mengalami hambatan dalam
membangun,” ujar Muhammad Syauqillah di Jakarta, Sabtu (18/3/2023).
Dirinya melanjutkan, aksi terror yang dilancarkan oleh KKB tentunya keluar dari jalur kerangka pembangunan Papua, yang sejatinya diperuntukkan untuk orang Papua itu sendiri. Artinya ketika pembangunan macet, secara jangka panjang akan berdampak kepada masalah-masalah kesejahteraan masyarakat Papua sendiri, misalkan akses jalan dari satu wilayah ke wilayah yang lain.
“Setidaknya masyarakat Papua itu, dengan aksi kekerasan yang terjadi di Papua, yang terkena dampak tentunya adalah masyarakat Papua, rakyat Papua atau siapapun yang ada di Papua itu akan terkena dampaknya, terutama dampak negatif,” jelas Syauqillah.
Sehingga dengan kondisi yang demikian, dirinya menilai pemerintah perlu menyiapkan langkah-langkah pendekatan-pendekatan, baik soft maupun hard approach, strategi langkah untuk penuntasan masalah KKB.
“Karena masyarakat di Papua ini juga harus diberikan jaminan keamanan, kenyamanan hidup juga disana,” kata pria yang juga merupakan pengamat terorisme ini.
Pria yang akrab disapa Gus Syauqi ini melanjutkan, penyelesaian masalah KKB Papua hendaknya dimulai dengan memperkuat komitmen seluruh stakeholder dan menyamakan persepsi melalui dialog-dialog demi memberikan solusi yang terbaik bagi Papua sebagai bagian yang tak terpisakan dari NKRI.
“Semua pihak harus duduk bersama dengan membangun dialog. Karena sampai saat ini sudah banyak korban yang berjatuhan yang ditimbulkan” kata Dosen Sekolah Kajian Stratejik dan Global Universitas Indonesia (SKSG UI).
Persoalannya adalah bagaimana komitmen-komitmen berbagai stakeholder yang ada di Papua untuk benar-benar menjaga Papua tetap damai, dan bisa menjadi wilayah berkembang atau tidak ada konflik dengan masyarakat yang ada di Papua.
“Tapi bagaimana kemudian implikasi dari pendekatan pendekatan itu ke depan itu menurut saya diperlukan komitmen semua pihak untuk melaksanakannya, kalau misalkan komitmen itu hanya satu pihak itu tidak akan jalan. Artinya perdamaian atau dialog itu hanya dibangun oleh satu saja tidak akan bisa berjalan,” ujar Pria yang meraih gelar Doctor of Philosophy (PhD) bidang Ilmu Politik dari Marmara University ini.
Tetapi yang paling penting, menurut Penulis Buku ‘Ketahanan Keluarga, Paradoks Radikalisme Dalam Keluarga Indonesia’ ini, masalah KKB sejatinya bisa diselesaikan dengan kerangka pendekatan Pancasila yang sudah lama menjadi ideologi bangsa ini.
“Kita punya ideologi Pancasila yang tertuang dalam sila ke-4 yaitu Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan. Tentunya ini yang menjadi simbolitas kita semua. Dan juga perlu juga lihat sila yang lain yakni sila ke-3, Persatuan Indonesia. Dan tentunya harus juga mencerminkan posisi keadilan bagi masyarakat Papua,” kata GusSyauqi mengakhiri.