Pengamat Sosial : Jangan Sampai Ada Tokoh Yang Malah Menyesatkan Publik Terkait Virus Corona

Jakarta – Wabah virus corona (covid-19) telah menjadi bencana kemanusiaan yang menelan banyak korban. Namun wabah virus corona bukan hanya tantangan penyakit saja, Indonesia.yang telah menerapkan kebijakan social distancing ternyata tidak berjalan mulus

Wabah virus corona dan social distancing menimbulkan persoalan baru yakni penyakit sosial seperti maraknya hoaks dan ketegangan sosial di masyarakat. Untuk itu diperlukan upaya bersama untuk mengatasi berbagai tantangan sosial dari bencana corona.

Pengamat sosial dari Universitas Indonesia, DR. Devie Rahmawati,S.Sos., M.Hum mengatakan bahwa perlu kerjasama dari para tokoh masyarakat (aparat negara, tokoh agama, politisi, professional korporat, hingga para pengajar di berbagai jenjang pendidikan), untuk meyakinkan masyarakat tentang pentingnya melakukan physical distancing sehingga masyarakat dapat terhindar dari serangan virus Corona.

“Belajar dari event politik terdahulu, dimana banyaknya beredar informasi yang tidak dapat dipertanggungjawaban, yang kemudian berujung pada konflik individual bahkan sosial, maka situasi ini tidak boleh berulang lagi di masa-masa darurat corona. Mengingat, pandemi Covid telah membuat banyak jatuh korban jiwa. Untuk itu, para tokoh masyarakat seyogyanya dapat menjadi kiblat dan kompas bagi penyampaian informasi yang positif, konstruktif dan empiris berdasarkan data-data yang benar, “ ujar DR. Devie Rahmawati, di Jakarta Kamis (26/3/2020).

“Secara sosial, masyarakat kita memiliki karakter patron – klien, dimana masyarakat yang berada di hirarki sosial tertinggi (sosok individu yang terkenal/kaya raya/ berasal dari keturunan bangsawan/ pendidik), memiliki kekuatan untuk didengarkan oleh masyarakat luas. Oleh karenanya, diharapkan para patron (tokoh) di masyarakat tidak menyampaikan informasi hoax bahkan pernyataan yang menyesatkan. Caranya mudah, para patron ini harus merujuk pada satu informasi yang akurat yaitu yang berasal dari pemerintah,” seru Devie, penerima Australia Awards 2019.

“Sebagai patron, tentu saja, tidak cukup hanya sekedar menyampaikan pernyataan, tetapi dibutuhkan aksi nyata berupa tetap tinggal di rumah, lalu tidak lagi menghadiri atau bahkan menyelenggarakan kegiatan-kegiatan yang mengundang massa dalam jumlah besar,” tambah Devie Rahmawati, penerima Beasiswa Training Literasi Digital oleh Google dan Facebook 2019.

“Para patron tersebut juga diharapkan proaktif untuk memoderasi arus lalu lintas informasi di berbagai saluran seperti WA/Instagram/Facebook/Twitter dan sebagainya. Para tokoh harus selalu siap melakukan koreksi ketika sebuah informasi yang diteruskan oleh masyarakat ternyata belum valid atau bahkan tidak ilmiah. Mengingat studi – studi ilmiah menunjukkan ketika dalam sebuah kelompok, ada minimal satu orang saja yang berani mengkoreksi sebuah mis maupun disinformasi, maka hal tersebut cukup membuat anggota kelompok lainnya untuk tidak berani mengirimkan informasi yang tidak benar ke orang lain,” ujar Devie penerima beasiswa DAAD.

“pemerintah dalam hal ini memiliki tanggung jawab untuk melakukan ToT terhadap para tokoh, agar mereka mampu menjadi agen kebenaran. Tidak hanya itu sosialisasi bahwa menyampaikan informasi bohong juga dapat memiliki dampak pidana (UU ITE), harus terus menerus dikomunikasikan. Mengingat banyak individu yang menyebarkan hoaks sebenarnya bukan karena mereka secara sistematis ingin menebarkan kebohongan, namun karena semangat ingin berbagi dan menjadi pahlawan informasi bagi orang lain,” tambah Devie.

Mengapa Sulit Sekali mendorong Publik Menahan Diri di Rumah?

Kampanye social distancing yang didengung-dengungkan untuk memastikan penyebaran virus corona terhenti, tidak sepenuhnya berhasil. Dan hal ini tidak hanya terjadi di Indonesia. “Negara-negara maju seperti Amerika Serikat dan Eropa misalnya, juga merasakan kesulitan yang besar untuk mengendalikan masyarakatnya untuk tidak melakukan aktivitas sosial bersama-sama di ruang public,”seru Devie yang menyelesaikan program Doktornya di Unpad & Swansea University, UK

“Dalam konteks Indonesia ada tiga faktor yang menyebabkan kampanye ini tidak sepenuhnya diikuti oleh masyarakat yaitu faktor Sosial, Kultural dan Spiritual. Secara sosial, masyarakat Indonesia memang masyarakat komunal, yang kepentingan sosial berada di atas kepentingan individual. Ini yang membuat, secara fisik pun, kedekatan sosial menjadi ruh bagi masyarakat kita,” ujarnya.

Oleh karenanya istilah social distancing, akan membuat masyarakat kita berpeluang menjadi “terasing” (sendiri) karena ini berarti melukai hakikat masyarakat timur yang sangat komunal. “Saya melihat physical distancing menjadi lebih relevan. Karena hanya fisiknya yang berjarak, namun komunikasi sosial dapat terus dilangsungkan melalui berbagai saluran,” seru Devie, yang juga seorang peneliti isu-isu sosial dan digital.

“Ketika individu merasa terasing, maka yang terjadi rasa sepi tersebut dapat menimbulkan frustasi. Hal ini tentu saja, yang mendorong masyarakat kemudian mengabaikan anjuran untuk melakukan social distancing tadi,” ujarnya.

Aspek kedua yaitu kultural, dimana masyarakat Indonesia masuk dalam kategori budaya short term society, yaitu masyarakat jangka pendek, dimana masyarakat kita tidak terbiasa melakukan berbagai persiapan untuk menghadapi masa depan.

“Berbeda dengan masyarakat Barat yang sangat sistematis, dan terbiasa melakukan perencanaan tentang berbagai hal. Masyarakat kita terbiasa dengan hidup di masa sekarang, yang termanifestasi misalnya dari berbagai ungkapan seperti : “yah gimana nanti aja”,” tambah Devie.

Faktor ketiga yaitu spiritual yang kuat, membuat masyarakat kita memiliki keyakinan bahwa segala sesuatunya sudah diatur oleh kekuatan lain. Sehingga masyarakat kita cenderung pasrah terhadap segala tantangan kehidupan.

“Ini yang kemudian membuat mereka tetap yakin bahwa kalau mereka tetap berada di ruang public, selama belum takdirnya untuk menghadap yang Maha Kuasa, maka tidak ada yang perlu dikhawatirkan,” seru Devie, yang sekarang menjabat sebagai Direktur Kemahasiswaan UI.

Ketiga faktor tadi kemudian berkaitanan dengan faktor ekonomi. Karena bagi masyarakat kalangan bawah, sulit bagi mereka untuk berdiam diri, mengingat mereka menggantungkan nasib mereka pada pendapatan harian. Bila sehari saja mereka tidak melakukan aktivitas, otomatis mereka tidak dapat hidup hari ini.

“Beda lagi dengan kalangan menengah ke atas, yang karena kepemilikan harta yang cukup, mereka merasa yakin bahwa mereka dapat mempersenjatai dirinya dengan berbagai suplemen terbaik, sehingga mereka juga terus berada di luar rumah,” tambah Devie, yang sering didapuk menjadi juri berbagai ajang nasional dan internasional

Oleh sebab itu mantan Kepala Program Studi Vokasi Komunikasi dan Humas UI ini menyampaikan bahwa memang dibutuhkan pendekatan struktural. Karena imbauan tidak akan cukup untuk mendorong public merubah perilaku sosialnya.

“Artinya memang harus ada upaya serius dari pemerintah untuk ‘memaksa’ warga untuk ada di dalam rumah. Untuk kalangan menengah kebawah jelas harus ada insentif ekonomi. Masyarakat kita ialah masyarakat insentif. Pendekatan persuasif dengan menyatakan bahwa bila seseorang tetap berada di rumah lalu mendapatkan tunjangan harian misalnya, saya optimis dapat membuat masyarakat patuh. Sebaliknya pendekatan represif dengan hukuman, belum tentu efektif juga dilakukan di Indonesia,” seru Devie, salah satu pendiri Yayasan Bakti Iluni dan Abdurrahman Wahid Center (AW Center) UI ini.

“Kita lihat berbagai upaya inisiatif warga untuk memberikan atau mengumpulkan barang yang dibutuhkan untuk mendukung misalnya petugas kesehatan atau masyarakat lainnya itu terus-menerus mengalir. Artinya ini menunjukkan memang physical distancing pun juga tidak mampu mencegah masyarakat komunal ini untuk terus bergandengan tangan untuk saling membantu, itu poinnya,” ujar pegiat literasi ini.

Dalam kesempatan tersebut Devie juga mengimbau untuk generasi muda agar untuk mau mengikuti anjuran mengisolasi diri dengan melakukan work from home (WFH) untuk mencegah penyebaran virus COVID-19 ini. Dirinya menyarankan agar pemerintah mau merangkul para selebritis-selebritis yang selama ini banyak menjadi patron para generasi muda untuk memberikan imbauan dan ajakan bagi para generasi muda yang selama ini masih enggan untuk mengikuti imbauan pemerintah.

“Karena dalam konteks anak muda ketika bicara informasi tentunya berbeda dengan orang tua. Kalau orang tua masih mau ‘mantengin’ informasi-informasi umum. Tetapi kalau anak muda mereka mencari informasi yang sesuai dengan minat dan keinginan mereka. Mereka tidak lagi mengkonsumsi informasi-informasi formal. Yang mereka dengar misalnya adalah musik atau film. Mau tidak mau ya para selebritis-selebritis ini. Nah disitulah sebenanrya bisa disusupi,” tutur mantan jurnalis ini.

Dengan menggandeng selebritis untuk membuat konten imbauan bisa dengan lagu, film atau hal-hal kreatif lainnya yang intinya mendorong anak muda untuk mau ‘ngeh‘ bahwa isu COVID-19 ini darurat sekali. Lalu pemerintah bisa kerjasama dengan platform seperti Youtube, Facebok, Instagram, Line Today dan sebagainya agar para selebritis yang punya banyak kepedulian bisa dimasukkan iklannya. Karena kalau bicara dengan para generasi muda tentu juga harus dengan cara yang muda juga agar imbauan pemerintah mau didengar anak muda.

“Tugas pemerintah cukup sederhana minta selebritsi buat konten imbauan atau kampanye WFH itu lalu tinggal telepon platform media sosial tersebut untuk minta ruang iklan para selebritis itu. Pemerintah yang biayain, selebritis juga diberi reward. Jadi pemerintah memoderasi itu. Karena orang pemerintah yang bicara dikalangan anak muda ya tidak cukup menarik perhatian mereka,” kata Devie mengakhiri.