Jakarta – Pengamat terorisme dan intelijen Ridlwan Habib menilai keterlibatan anak-anak dalam jaringan terorisme lewat media sosial maupun gim daring bukan semata akibat mereka dibidik secara khusus. Ia menegaskan, proses itu kerap terjadi karena lingkungan terdekat sang anak sudah lebih dulu terpapar paham radikal.
“Rekrutmen di platform gim atau media sosial berlangsung secara acak. Anak-anak yang kemudian teridentifikasi biasanya bukan berasal dari ruang kosong, melainkan sudah membawa bekal keterpaparan dari orang terdekat, termasuk keluarga,” ujar Ridlwan dalam keterangan tertulis, Rabu (26/11/2025).
Komentar tersebut menyusul temuan Densus 88 yang mencatat ada 110 anak dari 23 provinsi yang terseret jaringan terorisme setelah berinteraksi di ruang digital. Menurut Ridlwan, persoalan utama tidak hanya pada medium perekrutan, tetapi pada kondisi sosial yang membuat anak-anak lebih mudah dipengaruhi.
“Lingkungan keluarga dan orang-orang di sekitar mereka ikut membentuk ruang masuknya ideologi radikal. Faktor ini membuat anak lebih rentan,” tuturnya.
Ia mendorong pemerintah memperkuat mekanisme deteksi dini di keluarga dan sekolah, serta meningkatkan literasi digital agar ruang daring tidak dimanfaatkan kelompok teroris untuk menjaring pengikut baru.
Damailah Indonesiaku Bersama Cegah Terorisme!