Semarang – Pascapenyerangan terhadap Syekh Ali Jaber di Masjid Fallahudin, Kota Bandar Lampung, Minggu (13/09/2020) lalu, beredar spekulasi tentang sesuatu di balik aksi tersebut.
Ada yang menggunakan isu tersebut untuk mendiskreditkan pemerintah dengan tuduhan bahwa pemerintah gagal melindungi ulama. Ada pula yang mengkaitkan kejadian itu dengan isu kebangkitan Partai Komunis Indonesia (PKI).
Menurut pengamat politik dan keamanan, Dr. Sri Yunanto, komentar-komentar spekulatif tersebut bernuansa ‘adu domba’. Hal itu justru memprovokasi atau mengompori umat Islam untuk mengecam, mendiskreditkan atau mendelegitimasi pemerintah dengan mengaitkan dengan PKI dan kemudian main hakim sendiri.
“Bisa jadi kelompok ini memanfaatkan momentum tanggal 30 September mendatang yang dalam sejarah Indonesia sebagai momentum pengkhianatan PKI terhadap bangsa Indonesia, untuk menyerang pemerintah dan memfitnah Presiden Jokowi,” kata Sri Yunanto dalam keterangan tertulis Kamis (17/09).
Sri Yunanto menegaskan, bangsa Indonesia telah menutup rapat terhadap kebangkitan PKI. Bahkan, pemerinh dan negara terikat dengan Ketetapan MPRS Nomor XXV/MPRS/1966 tentang pembubaran PKI dan melarang pembentukannya.
Pengajar Ilmu Politik UI itu mengatakan, TAP MPR ini diperkuat dengan UU No 16 tahun 2017 dengan tegas melarang Ormas menyebarkan ajaran Ateisme, Komunisme, Leninisme sebagai sumber rujukan ideologi dan gerakan komunisme. UU ini juga menetapkan hukuman pidana yang keras bagi anggota organisasi PKI.
Lalu apa tujuan mengaitkan kejadian ini dengan kebangkitan PKI? Sri Yunanto menduga kelompok ini menggunakan isu tersebut untuk menciptakan kekacauan sosial dengan cara mengadu domba umat Islam untuk main hakim sendiri dengan menawarkan hukum pembalasan (qishos). Kelompok ini seperti mengail di air keruh.
“Ketika bangsa Indonesia sedang mengalami kesulitan akibat pandemi Covid-19 dan sedang berusaha mengatasinya, mereka berusaha menggunakan semua kejadian termasuk penyerangan terhadap Syech Ali Jabir untuk menyerang pemerintah dan mendiskreditkan presiden Jokowi,” tegasnya.
Menurut Sri Yunanto, penyerangan terhadap Syech Ali Jabir, sebelumnya pernah dialami Wiranto (saat itu Menkopolhukam), dan ancaman pembunuhan terhadap tokoh -tokoh pemerintahan di sekeliling Jokowi adalah fakta.
“Kita belum tahu apakah ada kaitan antara penyerangan terhadap para imam masjid dan ulama seperti Syech Ali Jabir dan Wiranto yang dekat atau menjadi pendukung Jokowi,” ujarya.
Dikatakan Sri Yunanto, dalam perspektif para teroris, aparat pemerintah dianggap Thoghut dan ulama yang dekat dengan pemerintah dianggap sebagai “ulama buruk (syuk)” yang boleh diserang.
Pemikiran ini juga bisa berkembang dengan suatu pertanyaan “apakah pelaku atau jaringannya punya kaitan dengan kelompok yang vocal menyerang pemerintahan?
Berpendapat demikian merupakan bagian dari kebebasan berfikir dan dijamin oleh Konstitusi. Namun, sebagai warga yang taat hukum, tindak lanjut penanganan penyerangan terhadap Syech Ali Jabir, imam masjid dan tokoh pemerintahan memang harus diserahkan kepada aparat penegak hukum,” kata dia.
Sri Yunanto meminta semua pihak perlu meningkatkan kewaspadaan. Bukan hanya ulama tetapi siapa saja termasuk aparat keamanan yang juga tidak bebas dari ancaman serangan seperti yang menimpa Syech Ali Jabir.