Jakarta – Kelompok radikal ISIS memang telah lemah pasca kalah perang di Suriah dan Irak. Namun kondisi itu tidak membuat potensi ancaman teror di Indonesia menjadi menurun.
Pernyataan itu diungkapkan pengamat terorisme dari Universitas Indonesia (UI). Ia menilai serangan teror di Indonesia dalam beberapa tahun terakhir memang cukup signifikan. Namun ia masih kesulitan memprediksi potensi serangan teror di Indonesia pada 2018.
Walau kekuatan kelompok Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS) semakin melemah di Timur Tengah, namun hal itu kemungkinan tidak berpengaruh terlalu banyak soal aktivitas teror.
“Saya belum bisa memperkirakan ke depan apakah ancaman serangan teror (di Indonesia) akan tetap besar, atau setelah ISIS rontok di Timur Tengah, serangan teror di sini akan ikut-ikutan menurun,” ujarnya di Universitas Indonesia, Depok, Kamis (19/4).
Walaupun tidak semua jaringan teror di Indonesia terhubung dengan ISIS, menurut Solahudin tinggi atau tidaknya ancaman teror di Indonesia tetap bergantung pada situasi politik di Suriah dan global.
Solahudin menyebut, iklim terorisme di Indonesia masih dapat ditebak sebelum ISIS jatuh. Ia memaparkan data pada 2016-2017, terjadi 40 serangan teror di Indonesia, dengan rata-rata 20 serangan setiap tahunnya.
“Saya sudah memperkirakan dari 2015, sebelum ISIS jatuh, serangan teror di Indonesia akan meningkat. Tetapi setelah ISIS jatuh, masih sulit untuk meraba-raba, jadi sulit ditebak,” katanya dikutip dari laman cnnindonesia.com.
Terkait fenomena pelaku teror tunggal (lonewolf), yakni ketika seseorang menjalankan aksi teror tanpa sebuah jaringan, Solahudin mengatakan kasus seperti itu sebenarnya sangat sedikit di Indonesia.
Walaupun ada beberapa pelaku teror yang menjalankan aksinya sendirian, tetapi kebanyakan dari mereka tetap terhubung baik secara langsung maupun tidak dengan jejaring teror.
Dari sejumlah kasus serangan teror yang awalnya diduga lonewolf, yang akhirnya terbukti benar-benar tidak terafiliasi dengan jaringan teroris mana pun hanya mencapai dua sampai tiga kasus.
“Dia anggotanya, dia diajarin membuat bom dengan temannya yang terafiliasi dengan jaringan teror, tapi lalu bergeraknya sendiri. Makanya saya bilang, terorisme di Indonesia ini aktivitas sosial, bukan aktivitas personal,” ujarnya.