Pengamat Terorisme dan Intelijen dari Community of Ideological Islamic Analyst (CIIA) Harits Abu Ulya

Pengamat: Menghentikan Radikalisme Tak Cukup Dengan Seruan Menag

Jakarta – Seruan Menteri Agama (Menag) Lukman Hakim Saifudin mengenai ketentuan ceramah agama di rumah ibadah mendapat tanggapan beragam. Walau seruan itu tidak mengikat, Majelis Ulama Indonesia (MUI) menyambut baik seruan tersebut.

Sebaliknya, pengamat terorisme dan intelijen dari Community of Ideological Islamic Analyst (CIIA) Harits Abu Ulya, menyoroti seruan Menag itu. Dia tidak memungkiri bahwa salah satu tujuan seruan ini adalah meminimalkan penyebaran paham radikalisme dan ekstremisme melalui rumah ibadah.

Dikatakannya, menghentikan paham radikalisme dan ekstremisme tidak cukup hanya dengan mengeluarkan seruan. Peran negara dalam konteks memberantas radikalisme adalah memberikan solusi praktis bagi masyarakat dengan membaca secara holistik problem akar radikalisme di Indonesia.

Menurutnya, ada dua faktor radikalisme tumbuh subur di Tanah Air. Pertama, rasa ketidakadilan, baik domestik atau global. Kedua, pemenuhan ekonomi yang bermartabat.

“Jika dua faktor tersebut terabaikan oleh negara dan negara justru fokus melakukan perang pemikiran yang kontennya sarat perdebatan, hal itu akan membuat kutub perbedaan semakin melebar,” kata Harits kepada wartawan di Jakarta, Selasa (2/5/2017).

Harits pun beryakinan bahwa seruan Menteri Agama Lukman Hakim Saifudin tidak akan berpengaruh signifikan terhadap penyebaran paham radikalisme dan ekstremisme. Apalagi, seruan itu bersifat tidak mengikat.

Sebelumnya, Menteri Agama mengeluarkan surat seruan mengenai ketentuan ceramah di seluruh rumah ibadah di Indonesia. Berikut sembilan poin seruan tersebut.

1. Disampaikan oleh penceramah yang memiliki pemahaman dan komitmen pada tujuan utama diturunkannya agama, yakni melindungi martabat kemanusiaan serta menjaga kelangsungan hidup dan perdamaian umat manusia.

2. Disampaikan berdasarkan pengetahuan keagamaan yang memadai dan bersumber dari ajaran pokok agama.

3. Disampaikan dalam kalimat yang baik dan santun dalam ukuran kepatutan dan kepantasan, terbebas dari umpatan, makian, maupun ujaran kebencian yang dilarang oleh agama manapun.

4. Bernuansa mendidik dan berisi materi pencerahan yang meliputi pencerahan spriritual, intelektual, emosional dan multikultural. Materi diutamakan berupa nasehat, motivasi dan pengetahuan yang mengarah kepada kebaikan, peningkatan kualitas ibadah, pelestarian lingkungan, persatuan bangsa serta kesejahteraan dan keadilan sosial.

5. Materi yang disampaikan tidak bertentangan dengan empat konsensus bangsa Indonesia, yaitu ; Pancasila, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945, Negara Kesatuan Republik Indonesia dan Bhinneka Tunggal Ika.

6. Materi yang disampaikan tidak mempertentangkan unsur SARA (suku, agama, ras, antargolongan) yang dapat menimbulkan konflik, mengganggu kerukunan ataupun merusak ikatan bangsa.

7. Materi yang disampaikan tidak bermuatan penghinaan, penodaan dan atau pelecehan terhadap pandangan, keyakinan dan praktik ibadah antar atau dalam umat beragama, serta tidak mengandung provokasi untuk melakukan tindakan diskriminatif, intimidatif, anarkis dan destruktif.

8. Materi yang disampaikan tidak bermuatan kampanye politik praktis dan atau promosi bisnis.

9. Tunduk pada ketentuan hukum yang berlaku terkait dengan penyiaran keagamaan dan penggunaan rumah ibadah.