Jakarta – Keberadaan pesantren yang mengajarkan radikalisme indikatornya bisa dilihat dari aktivitas pemimpin dan alumninya. Dari indikator itulah sudah bisa ditebak pesantren mana di Indonesia yang terkait dengan paham radikalisme dan terorisme.
“Semua orang yang konsen dengan perkembangan informasi pasti sudah bisa menilai pesantren mana yang terindikasi radikalisme. Lihat saja apakah pemimpin dan alumninya terlibat aktivitas terorisme?” ujar Ubaidilah dari Pusat Studi Pesantren di Jakarta, Selasa (9/2/2016).
Sebelumnya tokoh Nahdlatul Ulama (Ulama) KH Sholahudin Wahid atau lebih akrab dipanggil Gus Sholah mengungkapkan pesantren yang mengajarkan paham radikalisme memang ada, tapi jumlahnya tidak banyak. Menurutnya, pesantren seharusya tidak boleh bersentuhan dengan hal-hal berbau radikalisme dan terorisme karena tidak sesuai dengan tujuan pendirian pesantren oleh para wali dan ulama dahulu. Pesantren didirikan untuk mengajarkan pemahaman keagamaan yang tasamuh (toleran), tawazun (seimbang), dan i’tidal (adil).
Senada dengan itu, Ubadilah menjelaskan pesantren sejatinya adalah lembaga pendidikan yang didirikan para kiai untuk mengajarkan agama Islam yang benar, damai, dan nasionalisme. Itu telah terbukti dalam sejarah bangsa Indonesia terutama dalam membentuk dan mempertahankan NKRI.
Selain itu, pesantren juga berhasil menjadi bagian utama dalam melakukan koreksi sosial ke masyarakat dengan mengajarkan prinsip penghargaan dan integrasi sosial dan sejenisnya. Kendati demikian, Ubaidilah mengaku pihaknya belum melakukan riset khusus terkait pesantren yang terindikasi radikalisme.
“Selama ini kami lebih banyak mendorong pesantren untuk selalu hadir bersama-sama masyarakat menyuarakan spirit perdamaian, harmonisasi, dan persatuan. Itu sesuai dengan keinginan para pendiri pesantren dulu yang ingin menjadikan masyarakat sebagai bagian integral. Jadi tidak hanya mengajar santri, tapi terlibat dalam aktivitas sosial di lingkungan pesantren,” imbuh Ubaidilah.
Salah satu cara untuk mendeteksi pesantren terindikasi radikalisme, ungkap Ubaidilah, dengan melihat kurikulum yang digunakan pesantren tersebut. Menurutnya kurikulum menjadi basis penting untuk mengukur potensi radikalisme sebuah pesantren.
“Namun Kurikulum jangan menjadi variabel utama, tapi juga harus dilihat ekspresi dari elemen pesantren yang terindikasi radikalisme itu. Apakah sebatas kurikulum tapi ekspresi tidak muncul, atau kurikulum yang mendorong para santri untuk menjadi pelaku terorisme,” tukasnya.
Untuk melakukan itu, harus ada pendekatan yang baik dari pemerintah dan lembaga terkait lainnya dalam mendeteksi potensi radikalisme di pesantren. Sebaiknya dilakukan penyadaran dan pemahaman kepada elemen-elemen yang terindikasi radikalisme di dalam pesatren untuk kembali ke hakekat sejati pesantren yaitu mengajarkan agama Islam yang baik, damai, dan nasionalis.
Pastinya, pihaknya sepakat mendukung pemerintah melalui berbagai lembaga terkait lebih masif lagi melakukan pencegahan terorisme. Pasalnya terorisme itu sudah pasti merusak perdamaian dan kesatuan NKRI.
“Terorisme harus kita tolak. Pertama landasan teologis tidak memberi ruang. Basis kemanusiaan juga tidak membenarkan praktek terorisme karena Islam agama yang mengajarkan kedamaian dan kasih sayang, sesuai Al Quran dan hadits. Islam justru harus jadi garda terdepan membangun kemaslahatan dan kedamaian umat manusia,” pungkasnya.