Jakarta – Berbagai kondisi sosial tengah menjadi fenomena dalam kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia. Salah satunya ciri dan kultur bangsa yaitu sopan, santun, toleran, saling menghormati, semakin menghilang di tengah kehidupan masyarakat, terutama generasi muda. Kondisi ini membuat imunitas anak bangsa dari ‘serangan’ ideologi dan paham asing sangat rentan. Karena itu, pengajaran pendidikan karakter, baik melalui secara konvensional maupun melalui literasi digital harus dipaksakan kepada generasi bangsa.
“Harus dipaksakan dan semua harus mengikuti, karena ini jati diri bangsa. Apakah melalui kurikulum pendidikan atau melalui dunia digital. Kita semua tahu fenomena media sosial (medsos) ini sangat luar biasa. Kalau bangsa kita lengah, akan sangat berbahaya. Ini menjadi tanggung jawab semua, pemerintah, masyarakat, lingkungan, dan keluarga,” ujar Staf Ahli Menko Polhukam Dr. Sri Yunanto, di Jakarta, Rabu (6/3/2019).
Menurutnya langkah pertama untuk kembali menguatkan karakter bangsa itu dengan memberikan pondasi pendidikan, terutama penguatan ideologi bangsa. Itu bisa dilakukan dengan memberikan pemahaman lagi tentang 4 Pilar Kebangsaan yaitu Pancasila, UUD 45, NKRI, dan Bhinneka Tunggal Ika. Itu bisa diberikan melalui kurikulum pendidikan dan kampanye di media sosial.
Ia optimis, bila generasi bangsa mempunyai pemahaman utuh tentang 4 Pilar Kebangsaan itu, mereka pasti akan memiliki imunitas dan pembanding terutama saat mendapatkan pengetahuan baru dari dunia digital tentang ide kebebasan maupun paham transnasional.
“Mereka memang membaca pengetahuan baru itu, tetapi mereka pasti akan membandingkan dengan ideologi hakiki bangsa. Dengan begitu, mereka tidak akan mengikuti dan menolak paham tersebut,” tukas Dosen Politik Islam Universitas Indonesia ini.
Selain 4 Pilar Kebangsaan, ideologi agama juga harus disebarkan karena agama-agama di Indonesia mempunyai misi yang sama yaitu mengajarkan kebaikan, toleransi, perdamaian, dan moderasi. Dengan memahami ideologi agama, generasi muda akan memilik saringan dalam menghadapi serangan ideologi asing.
Ketiga, lanjut Sri Yunanto, nilai nilai luhur bangsa seperti gotong royong ,tepo seliro, toleran, saling menghormati juga harus terus diberikan. Dan itu bisa sangat efektif diviralkan melalui medsos. Ia sadar kemajuan teknologi informasi di era milenial itu sangat sulit mencegah anak-anak untuk tidak menggunakan medsos atau siber teknologi. Dalam hal ini, keluarga menjadi poin penting dalam melindungi anak-anak dari ‘virus’ negatif di medsos.
“Kita tidak bisa mencegah anak kita menggunakan medsos, justru di tengah kemajuan jaman ini, kita justru harus menganjurkan kepada anak-anak untuk mengenalnya. Tapi itu tadi mereka harus memiliki nilai dasar bangsa sehingga mereka bisa memilah mana yang baik dan mana yang akan merusak,” papar Sri Yunanto.
Selain literasi digital, pemerintah sebagai legitimate force bisa memaksa setiap warga dengan cara sah untuk mempelajari bela negara. Apalagi sekarang sudah adanya Inpres Nomor 7 tahun 2018 tentang bela negara. Di situ bela negara tidak hanya melalui cara formal, tetapi juga informal. Pesertanya juga harus menyuluruh seperti pelajar, mahasiswa, aparat, pengusaha, bahkan TKI pun harus mengikuti bela negara.
“Negara akan eksis bila didukung warga negaranya. Apalagi perkembangan siber hanya bisa ditangani kalau setiap warga negara punya satu mekanisme saringan sehingga ajaran bela negara, dipaksakan di semua lini masyarakat,” ungkapnya.
Intinya, kata Yunanto, semua lini harus bergerak tentunya harus dengan metodologi terkini baik termasuk di media dan medsos. Itu harus dikemas dengan menarik dan konten yang sesuai dengan perkembangan jaman serta tidak simbolik dan seremonial, tetapi mengena di hati masyarakat.
Kalau milenial caranya disesuaikan milenial, kalau ekonomi untuk kelompok pengusaha. Dengan begitu masyarakat akan mengikut dengan senang dan gembira dengan sukarela. Ini perlu kecanggihan dan pemikiran yang melibatkan berbagai disipin ilmu sehingga tidak terkesan monoton,” tandasnya.