Penelitian Kemenag: Madrasah Lembaga Pendidikan Anti Radikalalisme

JAKARTA – Penyebaran paham radikalisme dan terorisme di masyarakat harus diberantas sampai keakar-akarnya, terutama penyebaran melalui sekolah umum yang muatan keagamaanya lebih sedikit daripada madrasah, melalui penelitian Puslitbang Pendidikan Agama dan Keagamaan Badan Litbang dan Litbang Kementerian Agama menemukan bahwa tingkat pemahaman radikalisme dan terorime di sekolah (umum) masih sangat tinggi.

Pustlitbang Pendidikan Agama dan Keagamaan Badan Litbang dan Litbang Kementerian Agama meluncurkan Laporan Tahunan terkait Pendidikan Agama dan Keagamaan 2016 di Jakarta, Selasa (28/11/2017). Kepala Puslitbang Pendidikan Agama dan Keagamaan Kemenag, Prof. Amsal Bakhtiar menjelaskan bahwa produk penelitian dalam laporan ini salah satunya adalah terkait pendidikan agama di sekolah-sekolah, madrasah dan pesantren. Menurut dia, salah satu penelitian yang diungkapkan bahwa ternyata lembaga madrsah lebih moderat dibandingkan sekolah.

“Ya sekarang kan ada isu-isu radikalisme kemudian ekstrimisme dan sebagainya. Berdasarkan penelitian kita di madrasah itu lebih moderat dibandingkan dengan di lembaga pendidikan lain (sekolah),” ujar Amsal saat diwawancara Republika.co.id, Selasa (28/11/2017).

Bahkan menurut dia, pemahaman radikalisme di sekolah lebih tinggi dibandingkan madrasah. Karena, selama ini di sekolah-sekolah itu kurang mengajarkan Islam moderat. Berbeda dengan halnya di Madrasah, yang sejak awal telah mengajarkan siswanya tentang Islam moderat.

Ia mengatakan, guru-guru di madrasah dibekali dengan pemahaman keislaman yang moderat, sehingga madrasah bisa disebut sebagai lembaga pendidikan yang anti radikalisme. “Di madrasah dari awal mereka sudah diajarkan Islam yang moderat, yang rahmatan lil’alamin. Itu sudah jadi bagian madrasah dan gurunya juga kita latih seperti itu,” ucapnya.

Menurutnya, munculnya pemahaman radikal di sekolah kemungkinan karena siswa terpengaruh oleh guru non agama yang memang memiliki waktu lebih dominan untuk berinteraksi dengan siswa. Kata dia, guru agama di sekolah hanya memiliki waktu dua jam selama seminggu, sehingga pemahaman Islam kurang kuat.

“Kalau guru memiliki latar belakang cukup keras tentu saja ada pengaruh terhadap murid-murid atau siswa yang kadang-kadang sulit memonitor,”katanya.

Selain itu tambahnya, pemahaman radikal di sekolah juga bisa muncul melalui kegiatan Rohis yang memang pengawasanya dilakukan oleh kepala sekolah. Sementara, pengawasan di Madrasah lebih mudah karena dilakukan langsung oleh Kementerian Agama.

“Kalau sekolah kan sulit karena rumahnya beda, maka dari itu butuh tanggung jawab dari Dikbud juga gitu, tapi kan ada koordinasi juga terus menerus kemenag dan kemendikbud dalam ini,” jelasnya.