Jakarta – Sebuah penelitian mengejutkan datang dari Konsorsium Nasional untuk Studi Terorisme dan Respons terhadap Terorisme (Start), sebuah kelompok penelitian di University of Maryland. Dalam penelitiannya, disebutkan bahwa pelaku kejahatan ekstrem atau teroris dilakukan oleh mereka yang memiliki latar belakang militer.
Dilansir dari Military, penelitian itu menganalisis database ribuan kejahatan ekstremis dari tahun 1990 dan menemukan bahwa para pelaku kejahatan itu adalah orang-orang itu dengan latar belakang militer.
“2,41 kali lebih mungkin diklasifikasikan sebagai pelanggar korban massal dari pada orang yang tidak melayani di angkatan bersenjata,” tulis penelitian itu, dikutip Kamis (8/6/2023).
Dilanjutkan, bahwa tingkat keberhasilan kejahatan massal yang melibatkan pelaku dengan latar belakang militer hampir dua kali lebih tinggi jika dibandingkan dengan warga sipil.
“Veteran dan anggota layanan lebih cenderung meradikalisasi ke titik kekerasan, dibandingkan dengan warga sipil. Tetapi, ketika mereka melakukannya, mereka lebih cenderung merencanakannya,” jelasnya.
Pengalaman militer adalah indikator individu terkuat, apakah seseorang akan melakukan pembunuhan massal. Sementara itu, analisis baru datang ketika Pentagon dan layanannya mencoba bergulat dengan gagasan ekstremisme. Hal ini menyusul pemberontakan dengan kekerasan di Capitol AS, pada 6 Januari 2021.
“Hanya beberapa bulan setelah pemberontakan, anggota layanan tugas aktif pertama-seorang perwira kelautan ditangkap oleh penyelidik federal, karena perannya dalam kehancuran hari itu,” paparnya.
Yang mengejutkan, antara tahun 1990 dan 2022, 170 orang dengan latar belakang militer diketahui telah merencanakan 144 serangan teroris yang menyebabkan kematian massal di AS.
“Faktanya, lebih dari 70% mereka terkait dengan kelompok dan gerakan ekstremis domestik sayap kanan, termasuk kelompok anti-pemerintah dan milisi, seperti gerakan Boogaloo dan penjaga sumpah,” sambungnya.
Sedangkan 15% di antaranya dianggap terhubung dengan ekstremisme Islam. Tidak hanya itu, studi ini juga menemukan bahwa hampir 80% pelanggaran terjadi setelah orang itu meninggalkan angkatan bersenjata.