Peneliti: Meski Terlambat, Upaya Pemerintah Melegalisasi Organisasi Ekstra Kampus Bisa Dimaklumi

Jakarta – Organisasi ekstra kampus (organ ekstra) sudah bebas beraktivitas di lingkungan internal kampus. Ini tak lepas dari keputusan Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi menerbitkan peraturan bernomor 55 Tahun 2018 tentang Pembinaan Ideologi Bangsa. Aturan ini menggantikan Keputusan Dirjen Pendidikan Tinggi Nomor 26 yang terbit tahun 2002.

Menristekdikti Mohamad Nasir mengatakan, peraturan baru ini tak sekadar melegalkan organ ekstra beraktivitas di internal kampus, tapi juga untuk menghalau radikalisme.

“Itu upaya pemerintah menekan paham-paham intoleran dan radikal di kampus,” kata Nasir di Jakarta dan dikutip Antara, Senin (29/10) lalu.

Secara teknis, lanjut Nasir, setelah dilegalkan, organ ekstra diminta berhimpun dalam wadah bernama Unit Kegiatan Mahasiswa Pengawal Ideologi Bangsa (UKMPIB). Turunannya beragam, bisa kaderisasi atau diskusi publik. Intinya, menjadikan empat pilar kebangsaan (UUD 1945, Pancasila, NKRI, dan Bhinneka Tunggal Ika) sebagai wacana arus utama di kalangan mahasiswa.

Sementara di kesempatan dan waktu berbeda, Peneliti Terorisme dari Pusat Kajian Keamanan Nasional (Puskamnas), Ali Asghar justru menilai legalisasi organisasi ekstra kampus saat ini bisa dibilang sangat terlambat dilakukan sehingga dampaknya tidak akan terasa dalam waktu dekat. Pasalnya, paham radikal adalah imbas dari kebijakan normalisasi kampus yang diterapkan Orde Baru. Atau dengan kata lain, sudah berlangsung puluhan tahun.

“Memang sudah sangat terlambat. Tetapi daripada tidak sama sekali bisa menjadi pemakluman,” kata Ali, Kamis (1/11) siang.

Menurutnya, apa yang diupayakan pemerintah saat ini tidak cukup. Perlu upaya yang lebih dalam, semisal merevitalisasi kurikulum pendidikan tinggi dan tak melulu fokus pada pengembangan ilmu eksakta.

“Pemerintah terlalu fokus ke sains, padahal embrio radikalisme banyak dari rumpun itu,” tandas penulis buku Men-Teroris-Kan Tuhan ini.