Jakarta – Upaya mewujudkan dan memelihara kerukunan serta perdamaian masyarakat Indonesia yang beragam merupakan perjuangan yang belum usai. Memasuki tahun 2024, Indonesia juga akan disibukkan dengan perhelatan Pemilihan Umum yang seringkali rentan dengan penggunaan politik identitas.
Konsultan dan Peneliti di Wahid Foundation, Libasut Taqwa, mengatakan bahwa Negara Indonesia berhasil dalam menjaga kerukunan umat beragama. Hal ini ditunjukkan dengan semakin menurunnya jumlah konflik yang terjadi dengan latar belakang perbedaan etnis atau agama pasca era reformasi.
“Kita harus akui bahwa selama ini Pemerintah serta masyarakat telah berhasil dalam menjaga kerukunan umat beragama. Sejauh ini, temuan konflik sosial yang terjadi seperti pada masa-masa awal reformasi semakin berkurang. Ini merupakan suatu kemajuan yang harus kita syukuri dan akui berkat kerjasama yang baik antara pemerintah dan masyarakat,” jelas Libasut Taqwa, Jumat (5/1).
Ia mengungkapkan, bahwa pemerintah telah mendorong berbagai kebijakan yang mendukung terciptanya kerukunan antar umat beragama, ras, etnis, dan latar belakang lainnya. Namun di masyarakat masih ditemukan beberapa tantangan yang tidak bisa diremehkan, seperti kebijakan yang masih memfavoritkan kelompok tertentu dan kurangnya ruang perjumpaan antar agama, suku, dan golongan.
Menurutnya, penyebaran literasi yang moderat untuk menjembatani berbagai golongan dengan bermacam latar belakang juga masih menjadi pekerjaan rumah bersama. Minimnya pengetahuan masyarakat akan eksistensi agama, kelompok, dan golongan yang berbeda dengannya terkadang membuat narasi moderat kalah populer dibandingkan dengan yang justru menyebarkan intoleransi.
Untuk itu, Libasut Taqwa berharap agar kemajuan Indonesia dalam memelihara kerukunan masyarakat antar golongan tidak dirusak oleh kepentingan sesaat seperti dengan politik identitas dan politisasi agama. Tahun 2024 yang juga bertepatan dengan ajang Pemilihan Umum (Pemilu) untuk memilih Presiden dan Wakil Presiden serta wakil rakyat di DPR RI penting dirayakan dengan suka cita dan riang gembira.
Ia berbendapat, penggunaan politik identitas ini sebenarnya sudah menjadi penyakit lama, dan tidak hanya terjadi di Indonesia saja. Cara murahan seperti isu identitas ini sayangnya masih memiliki pangsa pasar cukup besar, apalagi di negara Indonesia yang semangat kesamaan antar masyarakatnya masih tinggi. Menyuarakan bahwa terdapat kesamaan latar belakang antara yang akan dipilih dengan basis pemilihnya sebenarnya tidak mengapa selama dilakukan secara sehat.
“Menjelang Pemilu, kita berharap destabilisasi nasional akibat penggunaan isu SARA tidak terjadi. Penggunaan isu identitas untuk kepentingan elektoral bisa menjadi baik selama tidak mendiskreditkan pihak tertentu karena perbedaan latar belakangnya. Strategi politik pemenangan calon tertentu yang menggunakan isu identitas secara diskriminatif inilah yang harus kita tolak,” tegas p[ria yang akrab dengan panggilan Libas ini.
Ia melanjutkan bahwa tidak dipungkiri bahwa potensi terjadinya kampanye secara negatif akan tetap ada, mengingat hal yang demikian pernah terjadi di Indonesia. Tapi diberharapkan hal yang sama tidak terjadi lagi karena akan berdampak buruk pada perkembangan demokrasi di Indonesia. Selain itu, residu pertikaian pasca Pemilu berpotensi menyisakan kerenggangan hubungan sosial di masyarakat.
“Mulai dari kurangnya interaksi antar kelompok, literasi masyarakat yang kurang, serta pemahaman publik yang keliru atas berbagai isu internasional, bisa menjadi faktor suatu kelompok masyarakat termakan narasi intoleran,” imbuh Libas.
Selain itu, kata Libas, Informasi dari media sosial atau internet dapat memberikan informasi yang tepat, tetapi tidak semua orang memiliki kemampuan untuk menyaring informasi tersebut. Oleh karena itu, pemahaman kritis terhadap isu-isu internasional perlu ditingkatkan, sehingga masyarakat bisa mengambil kesimpulan dengan lebih berimbang.
Dalam pandangannya, walaupun seringkali dikesampingkan, fenomena kurangnya literasi atau bahkan konsumsi bahan bacaan yang salah, menjadikan penyakit intoleransi justru semakin kuat menancapkan akarnya. Oleh karenanya, menjadi tugas sesama anak bangsa dalam mencegah penyebarannya mulai dari lingkup keluarga untuk terbebas dari sikap intoleran, dengan secara aktif menyebarkan konten moderasi beragama pada orang terdekat.
Libas menambahkan jika dirinya optimis tahun 2024 akan semakin menunjukkan iklim yang kondusif bagi perbedaan di Indonesia. Terlepas dari segala kekurangan yang masih ada, perdamaian antar umat beragama di Indonesia selalu terasa dan akan semakin menguat di tahun-tahun mendatang.
“Kita berharap tahun politik ini tidak memberikan pengaruh negatif terhadap situasi kehidupan umat beragama di Indonesia. Kalaupun ada, kita berharap pemerintah dan masyarakat dapat bekerja sama menanganinya, tidak hanya melalui solusi jangka pendek, namun juga dapat memberikan jalan keluar yang berkesinambungan serta dapat mengakomodasi semua pihak,” pungkas Libas.