JAKARTA – Pengamat berpendapat bahwa pendidikan kebangsaan harus kembali ditekankan di sekolah-sekolah formal. Pendidikan kebangsaan sejak dini masih dianggap ampuh untuk melawan radikalisme.
“Sekarang, kecenderungan anak-anak remaja untuk menaruh perhatian pada faham radikal memang semakin banyak. Ini terkait dengan pola pendidikan formal yang sangat terbuka dan jika diperhatikan, sekolah-sekolah itu kian minim memberikan pendidikan kebangsaan kepada para siswa, padahal ini penting diajarkan sejak dini,” kata pengamat pendidikan, Darmaningtyas kepada media, Kamis (8/9/2016).
Pendidikan kebangsaan ini menurut Darmaningtyas itu bisa berupa diadakannya upacara bendera setiap Senin. “Ketika siswa menghormati bendera, mengheningkan cipta dan menyanyikan lagu Indonesia Raya, mereka belajar tentang bagaimana menghargai sejarah bangsanya. Ditambah pengajaran tentang nilai-nilai pluralism, misalnya di siswa-siwa yang berasal dari suku dan agama yang berbeda,” kata Darmaningtyas.
Dengan menghargai sejarah bangsanya, maka diyakini para siswa akan memiliki sikap skeptis (mempertanyakan) ketika faham-faham radikal mereka dapat dari internet atau teman mereka. “Siswa yang mendapat pendidikan kebangsaan yang cukup dan memahami pluralisme dengan baik, akan bertanya kepada orang tua, atau guru jika mereka mendapat faham radikal dari sekelilingnya. Setidaknya mereka punya early warning terdahap faham itu. Itu cara ampuh untuk melawan radikalisme sejak dini,” kata Darmaningtyas.
Menurutnya, pengajaran kebangsaan yang seperti ini masuk dalam kartagori ‘hidden kurikulum’. “Hidden kurikulum ini justru gampang meresap di benak para siswa dibanding kurikulum formal yang diajarkan. Hidden kurikulum itu nilai-nilai yang diajarkan dan sesuai dengan pandangan Indonesia. Yang juga termasuk dalam hidden kurikulum ini adalah nilai-nilai sopan santun, cinta tanah air, kebangsaan dll.
Ironisnya sekarang ini, menurut Darmaningtyas, dengan mengatas-namakan otoritas sekolah, keterbukaan dll, sedikit sekolah yang mengajar faham kebangsaan. “Persoalannya bukan di kurikulum formal. Kini banyak sekolah-sekolah swasta bahkan negeri yang baru berdiri, tidak lagi melakukan hidden kurikulum itu yaitu upacara bendera atau kegiatan-kegiatan cinta tanah air yang lain. Mereka justru memberikan pemahaman yang sesuai dengan keyakinan atau pemahaman pendiri atau pemilik sekolah, dan mengesampingkan nilai cinta tanah air dan kebangsaan itu. Pemahaman pemilik sekolah itu kadang tidak berakar dari kondisi Indonesia yang pluralis dan mengandung hal-hal yang berbau radikal, meski tidak semua seperti itu,” kata Darmaningtyas. Sedangkan sekolah-sekolah negeri dan swasta yang sudah lama berdiri, menurutnya, relative masih intens mengajarkan faham kebangsaan sejak dini.
Para penilik sekolah yang mengontrol pengajaran di sekolah-sekolah sampai sekarang masih ada, tapi menurut Darmaningtyas, kurang berperan optimal. Mereka sekadar menjalankan tugas dibandingkan melakukan control secara intensif ke sekolah-sekolah,” katanya. Dengan berbagai masaah diatas maka tidak heran jika faham radikalisme cepat menjalar ke siswa-siswa yang masih belia.
Salah satu solusi untuk hal itu menurut Darmaningtyas, adalah ketegasan dari pemerintah soal pengajaran-pengajaran radikal di sekolah-sekolah dan himbauan kepada sekolah-sekolah untuk mengajarkan kembali hidden kurikulum, sehingga siswa bisa lebih menghargai sejarah dan berbagai perbedaan Indonesia.