Jakarta – Tidak ada yang bisa memungkiri jika pendidikan agama adalah ruh penting dalam dunia pendidikan. Tidak mungkin pendidikan agama akan digantikan apalagi dibuang dalam grand design pendidikan bangsa ini. Dan ini sejalan dengan pendidikan karakter yang menjadi prioritas pendidikan nasional yang salah satunya bersumber dari pendidikan agama.
Ketua Umum Yayasan Indonesian Conference on Religion and Peace (ICRP) Prof. Dr. Siti Musdah Mulia, MA, mengatakan, tidak bisa dibuangnya pendidikan agama dari kurikulum pendidikan di Tanah Air ini dikarenakan bangsa Indonesia ini sejak awal sudah menyebut sebagai bangsa yang religius.
“Oleh karena itu menghilangkan kata agama itu tentunya sangat sensitif. Daripada kita melakukannya secara frontal, jangan dibuang agamanya. Kita punya organisasi seperti NU (Nahdlatul Ulama) , Muhammadiyah dan ormas keagamaan lainnya yang bagus dalam memahami agama,” ujar Siti Musdah Mulia di Jakarta, Jumat (19/3/2021).
Menurutnya, sekarang ini tinggal bagaimana memperkuat pemahaman agama ini agar agama itu bukan hanya spada aspek-aspek simbolistiknya dan juga bukan pada aspek legal formalnya saja yang dipelajari, melainkan pada aspek nilai-nilai.
Ia mengungkapkan bahwa beberapa pimpinan ormas keagamaan seperti Ketua Umum Pengurus Pusat Muhamadiyah, Prof Dr. KH Haedar Nashir dan Ketua Umum Pengurus Besar NU, Prof Dr. KH Said Aqil Siroj selalu mengatakan bahwa agama itu harus ditekankan pada nilai-nilainya, bukan pada aspek formalnya.
“Contohnya orang tidak ditekankan harus pakai jilbab, karena ada yang sudah pakai jilbab tetapi perilakunya tidak Islami. Oleh karena itu yang perlu ditekankan pada pendidikan agama itu adalah membangun spiritualitas yang ujungnya adalah moralitas,” tutur pendiri Yayasan Mulia Raya, yaitu lembaga yang konsen di bidang pendidikan masyarakat, dalam penguatan literasi agama serta literasi kebudayaan dan keindonesiaan ini.
Menurutnya, pendidikan agama ini sangat penting sekali sepanjang yang diajarkan itu adalah penanaman nilai-nilai moralitas agama, baik itu di agama Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha maupun Konghucu. Bukan hal-hal yang sifatnya simbolistik seperti menghafal Al-Quran atau mewajibkan anak-anak kecil pakai jilbab.
“Tapi yang ditanamkan adalah nilai-nilainya seperti bagaimana dia menghormati orang tua, menghormati sesama manusia termasuk yang berbeda agama dan juga menghormati kelompok disabilitas, termasuk jangan mengambil yang bukan haknya, tidak boleh korupsi atau melakukan pungli. Semua itu adalah moralitas. Karena intisari dari pendidikan agama itu agar bisa menjadi manusia yang memanusiakan antar sesama,” tuturnya
Ia tidak bisa membayangkan jika bangsa ini tidak ada pendidikan agama, karena itu bisa menimbulkan chaos atau kekacauan. Bila tidak ada nilai-nilai yang diajarkan sehingga bukan tidak mungkin semua agama bisa ‘mengamuk’. Apalagi ada satu fase yang tidak bisa dilupakan bahwa seluruh agama tumbuh dan berkembang di Indonesia itu sudah sejak lama..
“Karena itu tidak bisa juga bangsa Indonesia ini mengembangkan pembangunannya tanpa adanya nilai-nilai religiusitas. Tetapi yang kita inginkan dalam pengembangan nilai-nilai religiusitas itu bukan pada aspek-aspek formal ataupun simbolistiknya yang bisa menyebabkan orang bertengkar juga satu sama lainnya karena saling memperebutkan simbol-simbol tersebut,” ujarnya
Pada kesempatan itu, Musdah juga mengatakan bahwa dalam menumbuhkan akhlak mulia melalui pendidikan agama di lembaga pendidikan dirinya berkaca pada model pendidikan di beberapa negara maju. Contohnya dari PAUD bahkan sampai kelas 3 SD anak-anak belum diajarkan baca, tulis dan berhitung (calistung) tetapi anak-anak lebih diajarkan tentang pentingnya disiplin misalnya dalam berlalu lintas.
“Karena akhlak mulia itu berasal dari situ, bagaimana kita berhati-hati dan bisa menghargai orang lain. Jadi kita harus saling menghargai, karena akhlak mulia itu dimulai dengan penghargaannya terhadap orang lain,” tutur wanita kelahiran Bone, 3 Maret 1958.
Lebih lanjut peraih gelar Profesor bidang Riset dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) ini menyebut bahwa pendidikan keluarga itu juga penting. Sehingga orang tua harus belajar juga bagaimana menjadi bapak dan Ibu yang baik. Karena namanya akhlak mulia harus dimulai dari pendidikan di keluarga.
“Pendidikan dengan memberikan contoh teladan harus dilakukan oleh orang tua demikian juga dengan guru. Karena kalau gurunya nggak memberikan teladan tentu akhlak kepada anak itu tidak bisa terbentuk,” jelas wanita yang juga Ketua Lembaga Kajian Agama dan Jender (LKAJ) itu.
Selain itu Musdah juga menyampaikan bahwa harus ditanamkan juga pendidikan dengan mengedepankan rasa hormat atau respek terhadap semua orang. Demikian juga penghormatan kepada hal-hal kebangsaan. “Karena para pendiri bangsa ini sendiri mengajarkan Hubbul Wathan Minal Iman yakni mencintai tanah air dan bangsa itu adalah bahagian dari keimanan kita. Ini harus selalu diomongin ke anak-anak,” ujarnya.
Oleh karena itu menurutnya, dalam melaksanakan upacara bendera itu kita bukan untuk menghormati bendera, apalagi syirik. Tapi dengan menghormati bendera itu untuk menunjukkan bahwa kita bangga punya bangsa Indonesia ini. “Itu bagian dari rasa syukur kepada Allah dimana kita memelihara bangsa ini, karena kita tidak mau bangsa ini diperlakukan semena-mena dan kita tidak mau dijajah,” ucapnya.
Selain itu, lanjut Musdah, agama juga mengajarkan manusia untuk bersosialisasi dan bermasyarakat. Karena di dalam kehidupan berbangsa dan bernegara hal itu sangat penting.
“Ini agar bagaimana mengedepankan prinsip persaudaraan, prinsip solidaritas, prinsip persatuan dan prinsip menjaga kepentingan bersama. Itu semuanya adalah esensi dari ajaran agama. Karena itu menurut saya, pendidikan agama itu bukan hanya mampu menguatkan rasa kebangsaan, tetapi sudah semestinya agama itu mendorong seseorang untuk mencintai dan menghormati bangsanya,” terangnya.
Ia menegaskah bahwa di dalam Islam disebutkan dalam ayat, ‘wama arsalnaka illa rahmatan lil alamin’ yang artinya ‘Saya tidak mengutusmu wahai Muhammad, kecuali engkau menjadi rahmat dan berkah’. Yang mana sebenarnya rahmat itu artinya luas sekali, bisa menjadi berkah, bisa menjadi anugerah, bisa menjadi kasih sayang kepada semua makhluk di atas bumi ini.
“Oleh karena itu saya pikir, pendidikan agama ini tidak memaksakan. Pemerintah harus berupaya bagaimana caranya agar supaya pendidikan keagamaan yang mengedepankan nilai-nilai kasih sayang dan toleransi itu menjadi lebih dominan di masyarakat,” ujarnya mengakhiri.