Jakarta – Pemerintah melalui Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) memblokir 59 rekening milik Front Pembela Islam (FPI). Tindakan itu dilakukan menyusul penetapan FPI organisasi terlarang. FPI dianggap kerap mengganggu keamanan dan ketertiban masyarakat.
PPATK menjelaskan bahwa pemblokiran rekening dilakukan untuk merespons keputusan pemerintah yang menetapkan dan menghentikan seluruh aktivitas atau kegiatan FPI.
“Sampai dengan Selasa (5/1/2021), sesuai Pasal 40 ayat (3) PerPres No.50/2011, PPATK telah menerima 59 Berita Acara Penghentian Transaksi dari beberapa penyedia jasa keuangan atas rekening FPI, termasuk pihak terafiliasinya,” tulis PPATK dalam siaran resminya dikutip dari laman bisnis.com.
Namun, FPI bukan satu-satunya organisasi yang pernah diblokir rekeningnya oleh pemerintah terutama dalam kasus radikalisme dan terorisme. Skema pemblokiran, adalah salah satu strategi pemerintah untuk memberantas tindak pidana terorisme.
Apalagi dengan status terorisme sebagai salah satu kejahatan luar biasa (extraordinary crime) dan termasuk transnasional crime. Pemblokiran rekening, selain akan memutus sumber pendanaan, sekaligus memperlemah gerakan terorisme di suatu negara.
PPATK menunjukkan sampai dengan Oktober 2020, transaksi mencurigakan terkait terorisme mencapai 1.287 kasus. Kendati turun 2,4 persen dibandingkan tahun lalu, transaksi mencurigakan terorisme tetap tinggi dan masuk peringkat 4 besar di bawah korupsi dan narkoba.
Adapun modus penggalangan dana yang dilakukan organisasi atau yayasan yang terafiliasi dengan terorisme juga beragam. Namun lazimnya, organisasi-organisasi itu, menggalang dana dari masyarakat dengan modus bantuan kemanusiaan yang disalurkan melalui rekening perbankan.
Menariknya, data intelijen keuangan menunjukkan, ada kecenderungan proses penggalangan dana tersebut dilakukan lewat bank umum, bukan menggunakan bank syariah yang mekanisme kerjanya sesuai prinsip syariah Islam.
Hal ini tampak dari sisi persentasenya penggunaan bank untuk fundraising, penggunaan bank umum mencapai 64 persen atau jauh lebih besar dibandingkan bank syariah yang hanya 36 persen.
Hasil identifikasi lembaga intelijen keuangan itu juga menemukan aliran dana yang diduga terkait dengan pendanaan terorisme itu mengalir ke rekening milik 8 ormas atau yayasan. Aliran dana tersebut sebagian besar dihimpun dari dalam negeri dengan modus pengumpulan donasi melalui media sosial maupun pencantuman rekening perbankan atau nasabah ormas.
Setelah terkumpul, dana tersebut kemudian disimpan dalam berbagai jenis simpanan yang disediakan perbankan. Umumnya simpanan ormas atau yayasan yang dicurigai mendanai aksi teror tersebut dalam bentuk giro. Persentasenya mencapai 56,76 persen.
Sementara sisanya, dalam bentuk tabungan bisnis 10,8 persen, tabungan dengan internet banking 2,7 persen, tabungan 27,03 persen, dan deposito 2,7 persen.
Salah satu contoh adalah transaksi nasabah ormas milik Yayasan ASA. Yayasan ini bermula dari sebuah event organizer kemudian berkembang menjadi yayasan yang fokus membantu korban kemanusiaan di negeri Syam (Suriah) dan juga Palestina. Dua negara ini diketahui sedang dilanda konflik.
Yayasan itu mengumpulkan dana melalui media sosial dengan mencantumkan sejumlah rekening perbankan nasional. Kejanggalan mulai tampak ketika pemerintah menemukan transaksi antara ASA dengan sebuah lembaga amal di Turki.
Yayasan ASA diketahui melakukan perjanjian dengan suatu pihak di Turki. Surat tersebut ditandatangani oleh Mr.Y yang mewakili pihak ASA. Namun, berdasarkan data perubahan badan atau yayasan Mr.Y tidak tercantum dalam akta tersebut baik sebagai pendiri, pembina maupun pengurus.
Usai perjanjian disepakati, Yayasan ASA kemudian menransfer dana ke 3 foundation di Turki dalam beberapa gelombang yakni pada 12 November dan 31 Desember 2019 ASA mengirim duit senilai masing-masing Rp518,5 juta dan Rp346,9 juta melalui bank di Turki.
Sementara, pada tanggal 16 Juli 2019 yayasan ini juga mengirim dana ke organisasi B senilai U$700 melalui bank di Turki. Sementara pada tanggal 14 Februari 2020 terdapat transfer ke melalui bank sebesar US$8.750.
Adapun PPATK telah merekomendasikan kepada Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) untuk melakukan pengawasan berbasis risiko Ormas. Salah satunya dengan memeriksa laporan keuangan ormas untuk memastikan dana yang masuk dan dana yang digunakan tidak terkait tindak pidana terorisme.