Denpasar – Komisi Perlindungan Anak Daerah (KPAD) Bali menekankan pentingnya proses reintegrasi sosial bagi anak yang pernah terpapar radikalisme. Reintegrasi dinilai sebagai tahap krusial agar anak dapat kembali hidup berdampingan dengan masyarakat tanpa terhalangi stigma atau tekanan psikologis.
Wakil Ketua KPAD Bali, A.A. Made Putra Wirawan, S.H., M.H., dalam keterangannya yang dikutip dari rri.co.id, menjelaskan bahwa keberhasilan reintegrasi tidak dapat dipisahkan dari penanganan awal yang melibatkan berbagai instansi teknis. Menurutnya, setiap anak membutuhkan pendekatan holistik untuk memastikan proses pemulihan berjalan efektif.
“Secara teknis memang bukan KPAD yang menangani langsung, namun kami memastikan koordinasi antarlembaga berjalan sesuai standar,” ujar Agung Wirawan. Ia menegaskan bahwa sinergi yang solid menjadi fondasi sebelum anak dikembalikan ke lingkungan sosialnya.
Untuk memperkuat langkah tersebut, KPAD Bali belum lama ini menggelar Rapat Koordinasi Terbatas (Rakortas) guna menyusun pola penanganan terpadu, termasuk tahapan reintegrasi bagi anak terpapar radikalisme. Rakortas menghadirkan Densus 88, UPTD Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA), psikolog, Badan Kesbangpol, Forum Anak, FKUB, FKPT, serta perwakilan lembaga lain yang bergerak dalam perlindungan anak.
Dalam forum tersebut, masing-masing lembaga memaparkan perannya untuk memastikan proses reintegrasi berjalan mulus ketika anak kembali ke masyarakat. Pendekatan terkoordinasi ini penting mengingat anak yang pernah terpapar radikalisme sering kali membawa trauma, perubahan perilaku, dan ketergantungan emosional pada kelompok tertentu.
Agung Wirawan menyebutkan bahwa pola reintegrasi yang disusun melalui Rakortas diharapkan dapat menjadi model penanganan yang efektif di Bali. Ia menilai pendekatan ini tidak hanya fokus menjauhkan anak dari ideologi ekstrem, tetapi juga memulihkan kondisi emosional mereka agar dapat tumbuh kembali di lingkungan yang aman.
Ia menegaskan, tanpa dukungan lingkungan yang siap menerima, proses pemulihan rentan terhambat dan berpotensi memicu kembali keterikatan anak pada pemahaman ekstrem. “Kita harus memastikan lingkungan menerima mereka dengan baik. Reintegrasi sosial ini harus diupayakan bersama,” tutupnya.
Damailah Indonesiaku Bersama Cegah Terorisme!