Pola terorisme yang terjadi belakangan ini menunjukkan gambaran nyata betapa terorisme sudah tidak lagi memerlukan momen-momen khusus untuk setiap aksinya; terorisme bisa terjadi kapan saja, di mana saja, dan menyasar siapa saja. 4 aksi teror terbaru misalnya, mulai dari serangan bom di Thamrin, bom di gereja Medan, teror pos polisi di Tangerang dan bom gereja di Samarinda, merupakan bukti bahwa terorismetelah menjadi bahaya tersendiri yang membutuhkan penanganan khusus dan bersifat terus-menerus.
Dua hal utama yang kini terus digalakkan oleh Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) adalah deteksi dini dan deradikalisasi. Perlu ditekankan di sini bahwa terorisme tidak sama dengan jenis kejahatan lainnya, terorisme adalah extra ordinary crime (kejahatan luar biasa) yang memiliki potensi merusak, bukan hanya bangunan fisik, tetapi juga mental dan pola pikir seseorang. Karenannya, penanganan yang diperlukan untuk kmenanggulangi bahaya kejahatan ini haruslah berupa sistem penanganan yang integratif, komprehensif, holistik dan menyeluruh.
Salah satu cirri utama dari terorisme saat ini dapat dilihat dari pergeseran paradigma (shifting paradigm) dalam tubuh dan aksi terorisme, di mana terorisme saat ini tidak lagi mengharuskan perencanaan yang matang, atau keterlibatan dalam kelompok-kelompok teroris tertentu. Saat ini, siapa saja dapat bergerak sendiri untuk melakukan aksi teror, aksi sepert ini biasa dikenal dengan sebutan serigala tunggal atau lone wolf. Para ‘serigala’ ini tidak terlibat secara ‘resmi’ dengan kelompok-kelompok teror, tetapi mereka adalah orang-orang yang percaya bahwa terorisme memang benar-benar membela agama. karenanya, mereka rela mengorbankan nyawa, sambil meyakini bahwa kematiannya itu akan dibalas dengan surga beserta seluruh janji kenikmatan di dalamnya.
Pecegahan dini terorisme, sebagaimana gencar dilakukan oleh BNPT, difokuskan pada fase pra-terorisme, yakni radikalisme. Radikalisme sendiri memang tidak selalu berujung pada terorisme, namun radikalisme adalah pintu terakhir sebelum masuk ke terorisme. Artinya, seseorang yang radikal belum pasti akan menjadi teroris, tetapi orang-orang radikal tersebut memiliki potensi besar untuk terlibat dalam aksi-aksi terorisme. Atau paling tidak, mereka akan bersetuju atau bahkan mendukung adanya aksi-aksi terorisme.
Pantauan dan hasil kerja dari BNPT menunjukkan bahwa radikalisme bukan saja disebabkan oleh kesalahan dalam memahami makna agama saja, karena ada banyak faktor lain yang turut memainkan peran dalam tumbuh kembangnya paham kekerasan yang mengatasnamakan agama ini. Beberapa faktor itu antara lain; ekonomi, sosial, budaya dan pendidikan. Karenanya, pencegahan dini tidak hanya dilakukan dengan memberikan pemahaman yang benar tentang agama, melainkan juga dengan turut mendorong terpenuhinya faktor-faktor lain seperti di sebut di atas. Dalam pengertian yang lain dapat disampaikan bahwa radikalisme bukan hanya disebabkan oleh kondisi kosong otak, melainkan juga kosong perut, kosong kantong, dan kosong hati.
Mengisi kekosongan-kekosongan itu tentu tidaklah mudah, karenanya BNPT menggandeng elemen masyarakat dan kementrian terkait untuk berperan aktif dalam membabat benih-benih radikalisme. Dengan cara ini, kinerja BNPT dapat berjalan secara lebih efektif dan komprehensif.
Cara kedua yang dilakukan BNPT dalam menjegal terorisme adalah melalui program deradikalisasi. Khusus untuk ini, sebagian masyarakat terang-terangan mengira bahwa program ini gagal total. Indikasi kegagalannya adalah masih adanya aksi teror di tengah-tengah masyarakat. Bahkan ada pula opini yang menyebut deradikalisasi sebagai program yang ‘mubazir’. Sangkaan ini tentu tidak benar, di usianya yang masih sangat muda, program deradikalisasi telah menunjukkan kemajuan yang cukup signifikan.
Melalui program ini, pemerintah berhasil melakukan cluster untuk napi terorisme, hal ini dilaukan guna mengetahui tingkat radikalisme napi terorisme. Napi terorisme nyatanya juga tidak hanya ditahan tanpa diberi ketrampilan sama sekali. Ada banyak napi terorisme yang dibekali ketrampilan untuk bekal berwirausaha ketika mereka kembali ke masyarakat nantinya. Hal ini penting untuk diberikan kepada para napi. Jika mereka memiliki ketrampilan yang baik, mereka akan mampu membuka usaha dan lembaran hidup yang baru, sehingga mereka tidak akan lagi mudah terpengaruh untuk kembali bergabung dengan kelompok-kelompok teroris.
BNPT serius menggarap program ini, hal ini dibuktikan dengan pelibatan tim ahli –yang terdiri dari banyak professor dari berbagai latar belakang keilmuan—, tokoh masyarakat, hingga berbagai elemen masyarakat untuk ikut membantu mensukseskan program deradikalisasi.
Tulisan ini tidak bermaksud mengkingkari adanya fakta beberapa napi terorisme yang kembali melakukan aksi teror selepas menjalani masa hukuman di lapas, namun perlu ditekankan bahwa para pelaku itu bukanlah representasi yang representatif untuk program deradikalisasi. Ada banyak mantan napi terorisme yang ‘sukses’ ketika kembali ke masyarakat. Mereka adalah orang-orang yang berhasil kembali ke masyarakat dan menjadi anggota masyarakat yang baik. Beberapa di antara mereka bahkan kini ada yang mulai membuka usaha, atau bahkan mendirikan pesantren yang dikhususkan untuk membimbing para anggota dan simpatitas kelompok teroris agar bertaubat dan kembali ke jalan yang benar.
Hal ini telah menjadi catatan serius BNPT, terutama terkait dengan pengembangan metode dan eksekusi program deradikalisasi. Seperti dijelaskan di atas, terorisme adalah kejahatan luar biasa, penanganannya pun perlu dilakukna dengan cara-cara yang luar biasa pula. Program deradikalisasi tidak mudah untuk dilakukan, terutama karena terorisme ini menyangkut pola pikir seseorang, karenanya fokus deradikalisasi bukan pada tindakan, melainkan mengubah cara pikir dan kognisi orang-orang yang telah terpapar virus radikal.
Pada tahapan tertentu, ada banyak orang yang meyakini bahwa terorisme bukan saja diperbolehkan oleh agama, tetapi juga diwajibkan. Ini tentu disebabkan oleh doktrin-doktrin tidak berdasar yang menyebut bahwa aksi teror merupakan bagian dari jihad untuk membela agama. deradikalisasi, karenanya, bukan hanya fokus untuk mencegah agar aksi-aksi teror tidak perlu terjadi lagi, tetapi –dan ini yang tidak mudah—mengubah keyakinan orang-orang di atas agar mengerti bahwa kekerasan tidak akan pernah bisa digunakan untuk membela tuhan. Tuhan maha kasih dan maha sayang, agama tidak mungkin mengajarkan kekerasan.
Hal lain yang juga menjadi tantangan adalah masifnya peran media. Jaman dahulu, proses radikalisasi dilakukan secara langsung, yakni dengan pertemuan tatap muka di kelompok-kelompok kecil, dilakukan secara intensif dan sembunyi-sembunyi, namun kini tidak lagi. Radikalisasi dapat dilakukan dengan begitu leluasa dengan perantara media. Data bahkan menunjukkan bahwa 70% dari proses radikalisasi yang terjadi saat ini dilakukan melalui media online, sementara radikalisasi dengan tatap muka hanya tinggal 30% saja.
BNPT sedari awal sudah menegaskan bahwa radikalisme dan terorisme adalah musuh kita bersama, karenanya masing-masing dari kita diminta untuk secara aktif memainkan peran dalam memerangi radikalisme. Salah satu caranya ialah dengan selalu menjaga kewarasan, yakni dengan lebih mengutamakan positive thinking.
Kekerasan tidak hanya dilarang oleh negara, melainkan juga dilarang oleh agama. karenanya, kekerasan yang diatasnamakan agama bukanlah bagian dari agama. Terrorism has no religion, terorisme tidak memiliki agama. kekerasan bukan bagian dari agama, dan tidak akan pernah berjalan beriringan dengan ajaran agama.
Mari bersama lawan terorisme!