Penanggulangan Terorisme Harus Kedepankan Langkah Preventif yang
Diinkorporasikan Dalam Hukum Pidana

Semarang – Fakultas Hukum Universitas Negeri Semarang (FH Unnes) baru
saja mengukuhkan gelar profesor bidang ilmu politik hukum pidana pada
Rabu (7/2/2024) lalu. Ia adalah Prof. Dr. Ali Masyhar Mursyid yang
resmi dikukuhkan sebagai profesor bidang ilmu politik hukum pidana.
Dalam kesempatan itu, Prof Ali menyampaikan orasi ilmiah guru besarnya
yang diberi judul “Politik Hukum Pidana Terhadap Transformasi Baru
Radikalisme-Terorisme di Indonesia.”

Dalam orasi ilmiahnya, ia mengungkap motif dari tindakan
radikalisme-terorisme dan yang pada masa-masa kontemporer telah
membentuk pola-pola baru. Baginya, upaya penanggulangan
radikalisme-terorisme haruslah mengedepankan langkah-langkah preventif
yang harus diinkorporasikan ke dalam politik hukum pidana
penanggulangan radikalisme-terorisme di Indonesia.

“Jadi, politik hukum pidana ini ada sebenarnya dari kebijakan,
bagaimana kebijakan kita dalam menanggulangi ada tindak pidana atau
tidak. Kalau dulu kita menanggulangi terorisme dengan model yang
konvensional saja cukup, maka sekarang ini kondisinya berbeda,’’ ujar
Prof Ali Masyhar Mursyid saat berbincang dengan Hukumonline, Rabu
(28/2/2024).

Dekan FH Unnes ini melanjutkan terorisme saat ini telah berkembang
sedemikian rupa, bahkan terorisme bisa bekerja sendiri tanpa perlu
bekerja secara berkelompok. Saat ini banyak kelompok radikal yang
tidak terlibat jaringan manapun, tapi dapat diberi label seperti
teroris. Melihat kondisi ini, menurut Prof Ali menawarkan kebijakan
bagi negara bukan hanya seputar persoalan pidana seperti tangkap dan
pidana mati sebagai jalan keluar, tetapi ada bagian hulu yang harus
diselesaikan.

“Lewat orasi ilmiah ini, saya menawarkan kebijakan kepada negara yang
tidak hanya seputar masalah pidana, karena itu tidaklah cukup karena
itu sebenarnya adalah bagian akhir. Nah, dari hulu kita bisa
menyelesaikannya bahwa penyebab terorisme itu bisa dari berbagai macam
persoalan, salah satunya adalah ekonomi,’’ jelas dia.

Ketika seorang mengalami kondisi ekonomi yang tidak mapan dan tidak
memiliki jaminan hidup, tentu situasi tersebut merupakan sasaran empuk
bagi kelompok tertentu yang terafiliasi dengan radikalisme. Prof Ali
melanjutkan apalagi jika disentil soal jihad dan tipu daya lainnya
yang membuat seseorang itu siap mati untuk itu.

“Bahkan Ali Imron salah satu narapidana terorisme mengatakan ia hanya
memerlukan waktu 1×24 jam untuk mencuci otak seseorang. Jadi perintah
cuci otak itu pada dasarnya dendam kepada pemerintah, tidak sejahtera
dalam segi ekonomi dan lain sebagainya. Hal inilah yang saya
perhatikan dan semoga saran kebijakan tersebut dapat menjadi
sumbangsih untuk negeri,’’ kata dia.

Baginya, pengukuhan amanah sebagai profesor pada usia ke 48 tahun
bukanlah beban, melainkan sebuah tanggung jawab baru menuju sumbangsih
kepada negeri. “FH Unnes baru saja memiliki 6 profesor, dan
profesor-profesor ini paling tidak salah satu modal untuk dapat
dinilai oleh perguruan tinggi lain dan negara ini, bahwa FH Unnes
sudah mulai naik dan bergerak,’’ kata dia.

Pengukuhan dirinya sebagai profesor ilmu hukum pidana dapat menjadi
salah satu cara memberikan wawasan dan tanggapan terkait hal-hal hukum
pidana di Indonesia, khususnya soal radikalisme. Menjadi profesor
adalah proses belajar terus menerus, dan menjadi pemacu bagi dirinya
untuk terus membuka kembali buku-buku dan referensi agar terus
memberikan manfaat secara terus menerus dan berlanjut.

Ia juga turut mendorong profesor ilmu hukum lainnya untuk mengajar
mahasiswa S1. Hal ini bukan tanpa alasan, ia ingin menumbuhkan minat
dan harapan mahasiswa baru agar dapat memiliki keinginan untuk menjadi
doktor maupun profesor di masa yang akan datang.