Bogor – Individu yang mengalami gangguan stress pasca trauma kejadian aksi terorisme memiliki kompleksitas permasalahan sehingga sangat diperlukan pendekatan konseling bersifat komprehensif dan professional. Pengentasan masalah atau intervensi psikologis yang digunakan idealnya bersifat eklektik atau kombinasi dari berbagai pendekatan konseling, seperti layanan psikologis atau pembekalan motivasi.
Langkah kebijakan pemulihan terhadap korban aksi terorisme pada hakikatnya merupakan bagian integral yang tidak dapat dipisahkan dari peran serta negara dalam kesejahteraan sosial, kenyamanan dan keamanan, serta pemulihan fisik maupun psikis terhadap penyintas (korban aksi terorisme).
Hal tersebut dikatakan Deputi I bidang Pencegahan, Perlindungan dan Deradikalisasi Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), Mayjen TNI Abdul Rahman Kadir dalam sambutannya saat membuka acara embekalan Motivasi Bagi Korban Terorisme di Cisarua, Kab. Bogor pada Rabu (11/4/2018). Acara yang digelar Subdit Pemulihan Korban pada Direktorat Perlindungan ini mengambil tema “From Good to Great Life”.
“Aksi terorisme sebagai kejahatan luar biasa yang dialami korban tentunya dapat mengancam kehidupan korban dan menyebabkan terganggunya fisik maupun psikologis serta menjadi peristiwa yang membekas dalam kehidupan para korban. Terlebih lagi fakta yang tak terbatahkan bahwa para penyintas belum mendapatkan layanan pemulihan yang maksimal sehingga sangat diperlukan pendekatan konseling yang bersifat komprehensif dan professional,” ujar Mayjen TNI Abdul Rahman Kadir.
Lebih lanjut Deputi I menjelaskan, kepentingan penyintas sebagai pihak yang terkena dampak dari aksi terorisme harus menjadi faktor penting yang perlu di prioritaskan. Dan tentunya ini menjadi tugas semua pihak untuk dapat memperhatikan kembali keberadaan mereka karena para penyintas masih memiliki potensi positif di lingkungannya dengan dukungan semua pihak.
Menurutnya hal ini berkaitan juga dengan Revisi Undang-Undang (RUU) tentang Terorisme yang mungkin dalam waktu dekat akan disahkan menjadi Undang-Undnag oleh DPR RI. Hanya ada sedikit masalah saja yang perlu dituntaskan yakni difinisi terorisme itu sendiri dan hal-hal lain yang perlu di sinkorinisasi.
“Hanya itu, tetapi pada prinsipnya semua pasal-pasal itu sudah diselesaikan, sehingga penanganan terhadap masalah terorisme ini bisa berjalan secara komprehensif baik itu terhadap pelakunya maupun juga para korban dari aksi terorisme itu sendiri,” ujar mantan Sekretaris Utama (Sestama) BNPT ini.
Alumni Akmil tahun 1984 ini mengatakan, jika Revisi Undang-Undang itu nantinya sudah disahkan, maka BNPT akan diberikan kewenangan untuk mengkoordinasikan semua kegiatan yang berkaitan dengan korban aksi terorisme. Karena di dalam Undang-Undang No.31 tahun 2014 tentang Perlindungan Saksi dan Korban sejatinya sudah diatur yang berkaitan dengan masalah korban. Namun belum ada salah satu institusi yang menkoordinasikan.
“Oleh karena itu dengan revisi Undang-Undang no.15 tahun 2003 (tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme) maka BNPT diberikan kewenangan untuk mengkoordinaikan semua permasalahan yang berkaitan dengan korban aksi terorisme,” ujar mantan Direktur Perlindungan BNPT ini.
Dijelaskannya, sejalan dengan hal tersebut karena di BNPT sudah ada Subdit yang menangani permasalahan korban dari aksi terorisme maka subdit inilah yang nantinya akan mengkoordinasikan semua kegiatan yang berkaitan dengan masalah yang dihadapi oleh korban dari aksi terorisme.. Memang dalam pelaksanaanya nanti tidak akan mungkin BNPT akan melakukan semuanya, tetapi banyak dari instansi terkait yang akan terlibat dalam pemulihan korban.
“Misalnya LPSK (Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban), Kementerian Kesehatan, Kementerian Sosial. Kita tinggal melihat kiranya apa yang dibutuhkan oleh para korban yang bisa dilakukan oleh Kementerian/Lembaga (K/L) terkait. Sudah pasti akan dikoordinasikan oleh BNPT,” ujar mantan Danrem 074/Wirastratama, Surakarta ini.
Dan menurutnya, langkah awal dari kegiatan tersebut mulai dirintis oleh BNPT sendiri seperti ajang Silaturahmi Kebangsaan Negara Kesatuan Republik Indonesia (Satukan NKRI) yang mempertemukan mantan napi terorisme dengan korban aksi terorisme yang telah berlangsung akhir Februari lalu dan seperti kegiatan sekarang ini.
“Harapan kami, kalau ini tidak kita mulai dari sekarang atau mengawali kegiatan itu tentunya kapan lagi kita akan memulainya? Nah BNPT menginisiasi kegiatan itu. Mudah-mudahan dengan kegiatan semacam ini oleh BNPT, harapan kita kedepan nanti instansi-instansi terkait yang berhubungan dengan pemulihan korban tentunya bisa tergerak untuk melakukan kegiatan sesuai dengan kegiatan masing-masing,” ujar mantan Inspektur Kostrad ini menjelaskan.
Dan menurut pria yang dalam karir militernya dibesarkan di pasukan ‘Baret Merah’ Kopassus TNI-AD ini jika Revisi itu sudah di Undang-Undangkan maka sudah menjadi tugas BNPT untuk memonitoring dan mengkoordinasikan dengan K/L terkait. Untuk itu pihaknya mencoba untuk mendorong para K/L ini untuk melakukan kegiatan-kegiatan yang nyata dalam menangani para korban dari aksi terorisme.
“Mudah-mudahan K/L terkait tergerak hatinya, tergerak kegiatannya untuk bisa mengarah kepada kepada para korban. Sehingga kedepannya kegiatan-kegiatan yang mengarah kepada korban bisa lebih banyak lagi. Saya yakin bapak-ibu beberapa tahun lalu bisa merasakan bagaimana kurangnya perhatian itu dan sekarang ini mulai merasakan penanganan itu dari pemerintah melalui BNPT,” ujarnya
Untuk itu melalui berbagai pendekatan konseling psikologis dan pembekalan motivasi yang tepat diharapkan menjadi wujud hadirnya negara dalam rangka pemulihan bagi korban aksi terorisme. “Semoga dengan adanya kegiatan motivasi ini bisa bermanfaat bagi bapak dan ibu sekalian kedepannya,” kata mantan Komandan Satuan 81/Penanggulangan Teror Kopassus ini mengakhiri.
Seperti diketahui acara ini sendiri diikuti sebanyak hampir 40 orang yang terdiri dari para korban aksi terorisme baik itu bom Bali I & II, Bom JW Marriot, Bom Kedubes Australia, Bom Jalan Thamrin dan aksi terorisme lainnya.