Pemulangan WNI FTF Masih Terkendala Aspek Hukum, Proses
Deradikalisasi, dan Kemauan Politik

Jakarta – Pemulangan (repartriasi) perempuan dan anak Warga Negara
Indonesia (WNI) yang pernah menjadi bagian dengan kelompok teroris di
luar negeri atau Foreign Terrorist Fighter (FTF) masih menimbulkan pro
dan kontra. Hal itu terkait dengan aspek hukum, proses deradikalisasi,
serta kemauan politik. Saat ini ada ribuan pengungsi FTF berada di
kamp-kamp pengungsian di Suriah, termasuk WNI.

“Hingga saat ini, masih terus muncul pro dan kontra terkait pemulangan
atau repatriasi perempuan dan anak terasosiasi FTF,” kata psikolog
forensik, Zora A Sukardi dalam diskusi tentang “Repatriasi dalam
Penanganan Perempuan dan Anak Terasosiasi Foreign Terrorist Fighter
(FTF)” yang diselenggarakan Sekolah Kajian Stratejik dan Global
Universitas Indonesia (SKSG UI) di Jakarta, Selasa (5/9/2023).

Berdasarkan data Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), saat
ini ada sekitar 300 WNI perempuan dan anak yang berada di kamp-kamp di
Suriah timur. Mereka terdiri dari 181 perempuan dan 145 anak.

“Pertanyaannya adalah apakah kita mau pulangkan atau biarkan saja di
sana? Kalau kontranya mereka dianggap virus. Seorang yang sudah pernah
terekspos dunia perang, kalau pulang apa efeknya? Kita di dalam negeri
saja pendidikan Pancasilanya belum optimal. Di sisi pro, kita tidak
bisa membuat orang itu terlantar atau stateless (tanpa
kewarganegaraan),” kata Zora.

Menurut Zora, hal-hal yang diperdebatkan adalah terkait status hukum
perempuan dan anak apakah sebagai pelaku atau korban. Dari perdebatan
sejauh ini, semua sepakat bahwa anak diidentifikasi sebagai korban.

Namun, ujar dia, tidak semua pihak mendukung perempuan ditempatkan
sebagai korban karena mereka dinilai memiliki daya untuk mengatakan
tidak.

Selama ini, lanjut Zora, kelompok masyarakat sipil yang bergerak di
dunia terorisme selalu optimistis bahwa mereka memiliki kapasitas
untuk bisa menerima, menampung, dan memberdayakan perempuan dan anak
yang terasosiasi FTF.

“Bila memutuskan untuk memulangkan mereka, maka harus disiapkan
mekanisme penilaian risiko, melakukan rehabilitasi, dan deradikalisasi
serta membuat tempat penampungan bagi mereka, katanya,” ungkap Zora.

Kepala Program Studi Kajian Terorisme SKSG UI Muhammad Syauqillah
mengatakan bahwa kerentanan yang dihadapi Indonesia FTF adalah masih
adanya aliran dana dari Indonesia ke mereka yang berada di Suriah.

Selain itu, Syauqillah juga mengemukakan bahwa hingga saat ini masih
terdapat jalur tradisional di perbatasan Turki dengan Suriah yang
memungkinkan FTF keluar dan masuk. Hal itu turut membuka kemungkinan
peluang bagi mereka untuk kembali ke Indonesia karena memiliki uang.

“Mitigasi apa yang akan dilakukan Pemerintah Indonesia, baik yang
berkenaan dengan perempuan maupun anak, tetapi juga yang dewasa. Kalau
pemerintah saat ini tidak mampu memutuskan, setidaknya melakukan
asesmen,” kata Syauqillah.

Sementara itu, Kepala Satuan Tugas FTF BNPT Didik Novi Rahmanto
menyampaikan adanya beberapa masalah terkait repatriasi perempuan dan
anak yang terasosiasi FTF.

Dari aspek hukum, mereka tetap masuk kategori melanggar pidana menurut
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2018 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Terorisme karena pada prinsipnya mereka adalah orang yang terasosiasi.

“Ketika mereka dipulangkan dan kemudian dilakukan proses penegakan
hukum di Indonesia, aparat penegak hukum memerlukan barang bukti yang
kuat. Dari aspek politik, terdapat pihak yang kontra yang beralasan
bahwa kepergian mereka ke luar negeri merupakan kehendak sendiri.
Dengan demikian, mereka tidak perlu dipulangkan karena tidak ada
alasan untuk itu,” kata Didik.

Meski demikian, dengan diterbitkannya Keputusan Menteri Koordinator
Bidang Politik, Hukum dan Keamanan Nomor 90 Tahun 2023 tentang Satgas
Pengamanan Penanggulangan WNI di Luar Negeri, Satgas FTF dapat
mengambil langkah untuk mempersiapkan bila nantinya pemerintah RI
memutuskan memulangkan mereka karena terdapat tekanan internasional
yang kuat dari dunia internasional agar Indonesia melakukan
repatriasi.

Tim Ahli Dewan Pertimbangan Presiden Sri Yunanto mengatakan ada yang
perlu dikaji tentang keuntungan dan kerugian dilakukannya repatriasi
atau tidak dilakukannya repatriasi.

Salah satu kerugiannya adalah Indonesia mendapat sanksi dari dunia
internasional, sehingga hal itu perlu diterangkan sampai konkret
sebagai pertimbangan kepada pemerintah, ujar dia.