Jakarta – Terorisme adalah momok yang mengancam kedamaian dan persatuan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Karena itu terorisme harus dikikis dari Bumi Nusantara. Bersatunya pemimpin dan alat negara dengan ulama menjadi solusi terbaik mengikis terorisme.
“Kami menyambut dengan baik upaya pemerintah yang terus melibatkan berbagai elemen masyarakat, terutama ulama dalam penanggulangan terorisme di Indonesia. Kita memang harus bersinergi dalam memberantas terorisme sampai ke akar-akarnya,” ujar Sekjen PBNU Helmy Faisal Zaini di Jakarta, Jumat (5/8/2016).
Selama ini, ulama Indonesia, terutama dari NU selalu proaktif dalam membantu program penanggulangan terorisme yang digalang pemerintah melalui, Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT). Menurutnya, peran ulama dengan dukungan pemerintah, akan berperan besar dalam pencegahan terorisme, terutama untuk memberikan pemahaman yang benar tentang islam rahmatan lil alamin.
Seperti diketahui, pelaku terorisme selalu menjadikan islam sebagai ‘kendaraan’ mereka melakukan aksi kekerasan. Pemahaman yang salah tentang jihad, serta ideologi takfiri dijadikan pembenaran dalam melancarkan tindakannya.
Menurut Helmy, memang ada perbedaan peran para ulama di Indonesia dengan negara-negara lain. Di Indonesia, ulama mempunyai dua fungsi yaitu pengembangan pendidikan keagamaan dan memberikan peringatan untuk mengajak umat mengajarkan kedamaian. Artinya ulama bisa memegang peran sebagai pemersatu umat.
“Di negara lain termasuk di negara timur tengah peran ulama itu hanya melakukan pendidikan agama saja. Jadi ketika ada konflik antar warga, para ulama di luar negeri itu tidak bisa mendamaikan. Berbeda dengan Indonesia yang bisa dikatakan hampir setiap hari ada konflik antar warga. Disitu para ulama kita juga turun tangan untuk melerai dan mendamaikan,” ujar pria kelahiran Cirebon, 1 Agustus 1972 ini.
Tak salah bila banyak negara yang ingin mengekspor peran ulama Indonesia ke negaranya masing-masing. Hal itu didasarkan fakta semakin suburnya gerakan radikalisme dan terorisme yang mengusung konsep keagamaan, terutama islam, seperti keberadaan kelompok militan ISIS yang akhir-akhir ini banyak menebar teror di Eropa, Timur Tengah, bahkan di Indonesia.
“Ancaman mereka sangat nyata sehingga tidak hanya pemerintah dan ulama saja yang bersatu dan bersinergi, tapi seluruh elemen masyarakat harus ikut berperan untuk memerangi mereka. Contohnya serangkai teror bom di bulan Ramadhan dan Idul Fitri kemarin. Itu tidak mungkin tidak direncanakan. Tahun ini kita sudah merasakan dengan adanya teror bom di Jalan Thamrin dan Mapolresta Surakarta.
Helmy menilai, potensi radikalisme dan terorisme ini harus dikikis sampai akarnya. Ia khawatir bila benih-benih radikalisme dan terorisme ini tidak cepat diatasi, Indonesia akan mengalami ancaman yang lebih besar. Ia mencontohkan ada suatu ormas yang jelas menolak NKRI dan Pancasila. Ironisnya, ormas tersebut masih belum diambil tindakan.
“Mereka jelas menyebut produk dari Proklamasi telah melahirkan thogut-thogut dan melahirkan kita-kita yang dianggap telah keluar dari ajaran islam dan mereka sebut kafir,” ungkap Helmy.
Helmy menjelaskan, NKRI itu lahir dari konsensus dan kesepakatan seluruh elemen bangsa Indonesia melalui pendekatan dan pandangan agama. Dan dalam ajaran islam disebutkan bahwa bermusyawarah dengan antar sesama untuk menghasilkan permusyawaratan dalam suatu konsensus. Dengan demikian, konsensus NKRI ini harus ditaati oleh seluruh bangsa Indonesia.
Begitu juga dengan NU yang menjadi salah satu ormas terpenting dalam pendirian NKRI, dari awal hormat dan taat pada Pancasila yang menjadi pendangan keagamaan. “Karena kita ulul amri minkum yakni taat pada pemimpin yang kita sepakati. Kalau mereka tidak mengakui, berarti mereka tidak mengakui konsensus. Itu artinya mereka melawan NKRI,” tukas Helmy.
Helmy menolak anggapan masih terjadinya aksi bom di Indonesia karena islam masih lemah pada tataran praktis atau kecolongan, meski mayoritas umat islam di Indonesia, baik itu NU maupun Muhammadiyah berpegang pada islam moderat.
“Ini bukan semata-mata NU atau Muhammadiyah kecolongan dengan pemikiran islam yang moderat yang selama ini kita dengungkan. Ini tugas semua pihak untuk selalu mengajarkan kedamaian. Negara yang pengamananya sudah maksimal seperti Prancis, Amerika saja juga kecolongan. Negara mana di dunia ini yang intelejennya maju tidak kecolongan? Jadi kecolongan menurut saya karena belum menjadi tugas bagi semua pihak termasuk masyarakat,” katanya.
Sementara itu, Wakil Dekan Bidang Kemahasiswaan, Alumni dan Kerjasama Fakultas Adab dan Humaniora Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah, DR. Zubair Mag mengatakan bahwa beberapa pihak menganggap negara kita itu kafir karena dasar negaranya bukan Al Quran dan Hadist-hadist . “Padahal kita tahu bahwa dasar nagara kita yaitu Pancasila adalah kesepakatan atau rumusan yang dibuat oleh para ulama Indonesia sendiri , “ kata Zubair.
Menurutnya, pihak-pihak yang menginginkan negara Islam dan mengkafir-kafirkan bangsanya sendiri adalah pihak yang tidak paham sejarah. “Mereka menganut paham yang lahir di luar Indonesia dan dipaksa berkembang di negari ini. Umat Islam sendiri kok yang mendirikan negara Indonesa ini sehingga dasar negara kita sebenarnya adalah konsep Islam yang bisa diterima oleh semua pihak di Indonesia,” jelas Zubair.