Jakarta – Kelompok teroris ISIS memang sudah hancur. Namun sel-sel mereka masih bertebaran, baik di Suriah, Irak, Afghanistan, Pakistan, negara-negara Afrika, dan juga Indonesia. Tidak hanya itu, cerita tentang ISIS masih tersisa di kamp-kamp pengungsian di Suriah.
Ribuan bahkan jutaaan istri dan anak-anak anggota ISIS yang telah tewas, masih menghuni kamp-kamp pengungsian di Suriah yaitu di Kamp Al Hold an Al Roj. Dari jumlah itu ada ratusan orang Warga Negara Indonesia (WNI) termasuk anak-anak yang tertinggal di kamp-kamp tersebut.
“Ada 58 ribu perempuan dan anak-anak, anggota keluarga pejuang dan pemimpin ISIS, yang menghuni kamp Al-Hol dan 2.620 orang di kamp Roj. Jumlah ini hampir sama dengan yang disampaikan Washington Institute for Near East Policy, yang menyebut angka 68 ribu orang. Termasuk di antara mereka adalah perempuan dan anak-anak warga negara Indonesia,” ujar Leebarty Taskarina dari Direktorat Penindakan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT).
Leebarty berbicara di sela-sela peluncuran laporan penelitian The Habibie Center berjudul “Repatriasi, Rehabilitasi, dan Reintegrasi Anak-anak yang Terafiiasi dengan Kelompok Terorisme dan Ekstremisme Berbasis Kekerasan,” minggu ini.
The Autonomous Administration of North and East Syria, atau Otoritas Otonomi di Utara dan Timur Suriah, AANES, mengatakan sudah 34 negara merepatriasi warga mereka dari kedua kamp di Suriah, dan menyerukan agar lebih banyak yang melakukan hal serupa.
Belajar dari Swedia, Uzbekistan, dan Jerman
Leebarty mengatakan BNPT sedang mempelajari pengalaman dari tiga negara yang sudah memulangkan warganya dari kamp pengungsi di Suriah – yaitu Swedia, Uzbekistan dan Jerman. Transisi anak-anak anggota ISIS yang diadopsi orang tua angkat di Swedia dan Uzbekistan terbukti tidak berjalan mulus. Selain bersikap dingin, anak-anak itu kerap melampiaskan rasa stress yang mereka alami dengan berkata dan bertindak kasar. Sementara proses adopsi di Jerman berjalan lambat karena perlunya dukungan psikososial terlebih dahulu.
Satuan Tugas Penanggulangan FTF (Foreign Terorist Fighter) mengkonfirmasi sedikitnya 145 anak Indonesia menghuni kamp di Suriah. Mereka terdiri dari 69 anak lelaki dan 76 anak perempuan.
Sesuai hasil rapat terbatas yang dipimpin oleh Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD, yang akan direpatriasi adalah anak yatim piatu dan berusia maksimum 10 tahun, untuk meminimalkan tingkat radikalisasi mereka. Dari 145 anak Indonesia di kamp pengungsi di Suriah, ada 18 anak lelaki dan 13 anak perempuan yang berusia di bawah 10 tahun.
“Permasalahannya apa betul infrastruktur kita sudah betul-betul siap. Selain infrastruktur dan tempat, apakah betul-betukl kta didukung dan memiliki sumber daya manusia yang bukan secara jumlah, tapi memiliki kompetensi dan kapabilitas yang mumpuni tentang perlindungan dan penanganan anak,” kata Leebarty.
Peneliti senior di Habibie Center, Sopar Peranto, menjelaskan banyak kasus di mana anak secara sengaja atau tidak sengaja melakukan upaya teror atau turut membantu upaya teror.
“Dari data yang kami himpun sejak 2010 hingga 2022, ada sekitar 22 anak yang memang berkonflik dengan hukum, terkait kasus-kasus terorisme di Indonesia. Kami juga melihat ada sekitar 132 anak pulang dari Turki, Suriah, ataupun Irak pasca atau selama ada fenomena ISIS di luar negeri,” kata Sopar.
Anak-anak itu diketahui berafiliasi dengan Jamaah Islamiyah (JI), Jamaah Ansarut Tauhid (JAT), Jamaah Ansarud Daulah (JAD), dan bahkan di Mujahidin Indonesia Timur.