Pemerintah Jangan Hanya Fokus Lacak Pergerakan Teroris, Tapi Juga Waspadai Lone Wolf

Pemerintah Jangan Hanya Fokus Lacak Pergerakan Teroris, Tapi Juga Waspadai Lone Wolf

Jakarta – Pemerintah melalui Densus 88 Antiteror Mabes Polri terus melakukan perburuan untuk melacak pergerakan kelompok. Pengungkapan besar-besaran telah dilakukan terhadap kelompok teroris yang masih berupaya eksis, seperti Jamaah Islamiyah (JI).

Langkah itu mendapat apresiasi besar dalam upaya penanggulangan terorisme di Indonesia. Namun di tengah kondisi itu, pemerintah diminta tetap mewaspadai dan memantau keberadaan teroris yang bergerak sendiri atau lone wolf.

“Pelaku yang lone wolf, dia bergerak sendiri, merencanakan sendiri. Itu kan tidak terpantau. Berbahaya ini,” kata analis terorisme dan intelijen Universitas Indonesia (UI), Stanislaus Riyanta dikutip dari laman Medcom.id, Senin (21/12/2020).

Menurutnya, pelaku lone wolf terdoktrin bergerak mandiri dan belajar menyusun teror lewat media yang mudah diakses seperti internet. Lone wolf dapat mempelajari pengetahuan dan teknik-teknik teror lewat laman-laman radikal.

Selain itu, modus penyebaran paham radikal melalui internet ini kerap dilakukan ISIS. Kelompok ini merekrut anggota dengan menyebarkan propaganda lewat dunia maya.

“Ada juga yang ketika melihat konten itu, kemudian merespons,” kata Stanislaus.

Ia mengungkapkan, teroris lone wolf bisa terdeteksi dari tiga tahapan karakter. Dimulai dari bersikap intoleran, menerapkan ideologi radikal, dan mengasah kemampuan untuk melakukan aksi teror.

“Kemunculan teroris lone wolf bisa dicegah semenjak tahap pembentukan karakter intoleran terjadi. Peran orang terdekat dan lingkungan dibutuhkan untuk mengingatkan orang yang terdeteksi mulai bersifat radikal,” tuturnya.

Kalau memang ada indikasi teroris lone wolf, kata Stanislaus, masyarakat harus melaporkan kepada aparat keamanan. Pemerintah juga harus memberikan pengetahuan kepada aparat hingga tingkat bawah seperti Babinsa, Kamtibmas, RT, dan RW. Terutama cara mendeteksi dini kemunculan paham radikal.

“Ada 270 juta warga Indonesia, tidak mungkin diawasi sendiri oleh Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) atau Polri. Rasionya tidak seimbang,” pungkas Stanislaus.