Jakarta – Pelaku aksi terorisme berlangsung simultan dalam sepekan terakhir. Dimulai dari tragedi berdarah aksi napiter di Mako Brimob yang menewaskan lima polisi dan satu napiter, Rabu (9/5) lalu, langsung lanjut ke aksi dua wanita terduga teroris yang coba melancarkan aksi untuk membunuh personel Brimob di Mako Brimob selang sehari berikutnya. Aksi kedua ini berhasil diantisipasi aparat keamanan.
Pun begitu, drama aksi teroris ternyata belum usai. Dimulai Minggu (13/3) pagi, aksi teroris berhasil meledakkan bom bunuh diri di tiga gereja di Surabaya. Malam harinya, terjadi lagi ledakan bom di rusunawa yang berlokasi di kawasan Wonocolo, Sidoarjo. Senin (14/5) pagi, ledakan bom lagi-lagi terjadi dan ini kali menyasar pos pemeriksaan Mapolresta Surabaya.
“Rentetan kejadian aksi teror tersebut semakin biadab dan tak berperikemanusiaan karena juga melibatkan anak kecil yang berusia 10 tahun. Inilah saat paling tepat bagi pemerintah untuk menumpas habis terorisme dan radikalisme yang berkembang di Indonesia,” kata ujar pengamat teroris Harris Turino Kurniawan kepada wartawan di Jakarta, Senin (14/5).
Dijelaskan Harris, mengambil teori AMO (ability, motivation, and opportunity) yang dikemukakan oleh Blumberg and Prigle (1982) serta Boxall and Purcell (2003), pada ranah manajemen strategis, pemerintah sudah memiliki semuanya. Dari sisi ability atau kemampuan, pemerintah punya semua perangkat untuk melakukan hal tersebut.
“Dari sisi ability (kemampuan), pemerintah memiliki seluruh perangkat untuk melaksanakan hal tersebut. Bukan hanya dari kemampuan dan kesiapan aparat penegak hukum, tetapi juga dari sisi perangkat hukumnya sendiri,” kata pemilik gelar doktor Manajemen Strategis Universitas Indonesia (UI).
Kemudian dari sisi motivation (motivasi), secara jelas pemerintah punya motivasi ekstra untuk memberantas teroris sampai ke akar-akarnya sebagai wujud memberikan perlindungan bagi segenap bangsa Indonesia sesuai UUD 1945.
Sedangkan dari sisi opportunity (kesempatan), terus Harris, rentetan aksi teror ini tentu menjadi momen paling tepat untuk pemerintah bertindak tegas. Para tokoh agama juga telah menyatakan kecaman terhadap aksi teror tersebut.
“Seluruh komponen bangsa, apa pun agamanya, mendukung langkah pemerintah memberantas terorisme. Tak ada satu agama pun yang mengajarkan umatnya untuk membunuh warga masyarakat yang tidak berdosa,” jelasnya.
Diungkapkan juga, Mahkamah Konstitusi juga sudah mengeluarkan keputusan untuk menolak permohonan penggugat dalam uji materi tentang Perppu Nomor 2 Tahun 2017 tentang Organisasi Kemasyarakatan (Ormas).
Perppu ini, sambung Harris, bisa menjadi payung hukum yang jelas untuk menumpas akar-akar gerakan radikalisme yang bertentangan dengan dasar negara dan falsafah hidup bangsa Indonesia, yakni Pancasila.
“Sambil menunggu RUU Anti-Terorisme disahkan DPR, tindakan tegas terhadap seluruh gerakan radikal bisa menggunakan Perppu tersebut sebagai payung hukum. Negara harus lebih tegas memakai semua kewenangan dan memobilisasi seluruh kekuatan yang dimilikinya,” kata Harris.
“Negara tidak boleh kalah oleh aksi terorisme,” imbuhnya lagi seraya juga mengimbau seluruh masyarakat untuk menggalang soliditas persatuan dan menolak segala bentuk kekerasan yang mengancam persatuan dan kesatuan bangsa.