Jakarta – Badan Nasional Penanggulangan Terorisme melalui Subdit Pemulihan Korban Aksi Terorisme pada Direktorat Perlindungan di Kedeputian I tengah menyusun Standar Operasional Prosedur (SOP) Koordinasi Pemulihan Korban Terorisme. Saat ini, sudah dilakukan dua kali Focus Group Discussion (FGD) Penyusunan Standar Operasional Prosedur (SOP) Koordinasi Pemulihan Korban Terorisme, dan diharapkan setelah melalui proses selanjutnya, SOP itu akan menjadi pegangan dalam memberikan perlindungan korban terorisme.
“Ini ditujukan sebagai bentuk representasi negara untuk hadir dan memberikan perlindungan dan kesejahteraan bagi seluruh warga negara dan telah tercantum dalam UU Nomor 5 Tahun 2018 tentang perubahan UU Nomor 15 Tahun 2013 tentang penetapan peraturan pemerintah penggantu UU Nomor 1 Tahun 2002 Tentang Pemberantasan tindak pidana terorisme menjadi undang-undang,” kata Deputi I Bidang Pencegahan, Perlindungan, dan Deradikalisasi BNPT Mayjen TNI Abdul Rahman Kadir saat membuka FGD III Penyusunan SOP Koordinasi Pemulihan Korban Terorisme di Hotel Akmani, Jakarta, Rabu (19/9/2018).
Mayjen Abdul Rahman mengungkapkan bahwa United Nations Office On Drugs and Crime (UNODC) pada tahun 2015 menerbitkan buku yang berjudul Good Practices In Supporting Victims of Terrorism Within The Criminal Justice Framework. Dalam buku itu direkomendasikan agar setiap negara membentuk atau memberikan mandat kepada suatu lembaga atau badan untuk melaksanakan dan mengkoordinasikan terkait kebijakan nasional dalam hal praktik perlindungan, termasuk pemulihan terhadap korban terorisme.
Badan tersebut memiliki tugas pokok dalam membuat koordinasi yang efektif diantara semua lembaga negara terkait, termasuk pemerintah sipil, kelompok masyarakat dan organisasi non pemerintah dalam hal pemulihan korban terorisme dan keluarganya. Senada dengan hal tersebut, pemerintah Inggris telah menetapkan langkah-langkah pemulihan terhadap korban terorisme. Sebagai contoh, Inggris telah menetapkan bahwa seluruh korban terorisme serta keluarganya harus dapat dijamin pemerintah terkait kebutuhannya hingga bertahun-tahun pasca serangan.
Mayjen Abdul Rahman menjelaskan bahwa langkahkebijakan perlindungan dan pemulihan terhadap korban aksi terorisme pada hakikatnya merupakan bagian integral yang tidak dapat dipisahkan dari proses penegakan hukum tindak pidana terorisme. Berdasarkan konsep tersebut, tentunya peran negara dalam menciptakan suatu kesejahteraan sosial, kenyamanan dan keamanan, tidak cukup hanya terbatas pada upaya efektif penegakan hukum saja. Namun negara wajib memberikan perlindungan yang sangat diperlukan bagi korban dari aksi terorisme yang memang sangat memerlukan pemulihan kerugian, baik fisik (ekonomi, kesehatan) maupun psikis (trauma).
Ia berharap dengan adanya FGD III ini akan tersusun kerangka SOP Pemulihan Korban Terorisme yang lebih lengkap sebelum dilaksanakan kegiatan lanjutan.