Pembenahan Pendidikan Bisa Jadi Kunci Pencegahan Paham Radikal di Masyarakat

Bogor – Pembenahan pendidikan dan memastikan para penyelenggaranya taat menjalankan sila-sila Pancasila bisa jadi kunci pencegahan paham dan tindakan radikal di masyarakat.

Pendapat ini disampaikan pengacara senior Sugeng Teguh Santoso saat memberikan pembekalan advokasi di Bogor, Jawa Barat, Rabu (20/3). Pembekalan tersebut diikuti sejumlah pemuka agama dan tokoh masyarakat Kristen se-Bogor.

Sugeng yang juga Sekjen Dewan Pimpinan Nasional Perhimpunan Advokat Indonesia (DPN PERADI) menjelaskan pendidikan merupakan salah satu faktor penting dalam mencegah radikalisme. Fenomena tersebut sudah didukung dengan sejumlah survey yang dilakukan terhadap para guru dan peserta didik.

“Fakta menunjukkan bahwa ada peningkatan pada paham radikalisme. Ini harus disikapi dengan bijak dan tegas oleh seluruh elemen bangsa,” ujarnya.

Dikatakan, pembenahan dalam sistem pendidikan sangat mendesak oleh pihak-pihak yang terkait sehingga pandangan dan sikap radikalisme bisa dicegah. Pendalaman pemahaman Pancasila juga harus digiatkan dalam berbagai bentuk dan aktivitas yang menarik. Seluruh lapisan masyarakat harus bergerak untuk membuka wawasan serta memberi pengertian pada pihak-pihak yang bertentangan dengan Pancasila.

“Hal-hal terkait dengan ketidakadilan dan kemiskinan juga harus segera dibenahi karena isu-isu tersebut sangat rentan diboncengi paham radikalisme,” ujar Sugeng yang juga calon anggota legislatif (Caleg) untuk DPRD Kota Bogor dari Partai Solidaritas Indonesia (PSI) ini.

Dalam pembekalan itu dibahas juga sejumlah persoalan terkait sikap intoleransi dan diskriminatif dalam masyarakat. Padahal, setiap warga negara Indonesia (WNI) mempunyai hak dan kewajiban sama yang dijamin oleh UUD 1945 dan sejumlah aturan hukum turunannya.

“Setiap warga negara dijamin oleh undang-undang untuk melaksanakan hak dan kewajiban. Salah satunya adalah jaminan menjalankan hak untuk beribadah,” kata Sugeng yang juga pendiri Yayasan Satu Keadilan ini.

Di sisi lain, lanjutnya, setiap WNI yang menjadi korban diskriminatif atau hak-haknya dibatasi maka harus berani untuk memperjuangkannya. Tentu harus didadasari dengan landasan hukum dan bukti-bukti yang menguatkan untuk ditempuh dalam berbagai cara advokasi. Untuk itu, Sugeng juga mengajak tokoh masyarakat Kristiani dan pemuka gereja Kristen agar terlibat aktif dalam berbagai aktivitas sosial kemasyarakatan.

“Ajakan Pak Sugeng itu harus ditindaklanjuti oleh komunitas Kristiani dan minoritas lainnya yang merupakan bagian integral dari warga negara Indonesia. Ini merupakan tanggung jawab kita bersama agar terlibat aktif dalam berbagai kegiatan sosial. Jangan sampai terlena dan eksklusif dalamkomunitasnya sendiri,” tegas Gregorius Djako yang hadir mewakili masyarakat Katolik Bogor ini.

Pendeta Kongkin Atmodjo yang juga pengurus Yayasan Satu Lentera Indonesia menjelaskan berbagai advokasi sudah dilakukan untuk mencegah dan menekan tindakan diskrimatif terhadap kalangan minoritas. Hal itu untuk menjamin dan meningkatkan kebebasan beragama dan beribadah dari masyarakat sesuai dengan agama dan keyakinannya.

“Selain ada jaminan hukum, langkah-langkah advokasi juga harus dipahami sehingga masyarakat bisa menyelesaikan persoalan pada tingkat tertentu,” pungkasnya.