Pemastian Hak-hak Dasar Anak Kunci Perlindungan Anak Dari Terorisme

Jakarta – Serangan terorisme baik dalam bentu propaganda maupun aksi tidak hanya menyasar kaum remaja maupun dewasa, tapi juga anak-anak kecil. Kondisi ini cukup memprihatinkan karena anak-anak adalah harapan bangsa di masa mendatang. Hal itulah yang mendasari keharusan dilakukan pemastian hak-hak dasar anak-anak untuk melindung anak dari ajaran dan aksi terorisme.

“Ini tanggungjawab seluruh pihak. Dalam hal ini negara harus bisa memfasilitasi pemastian hak-hak dasar anak. Dengan itu anak bisa imun dari pengaruh negatif,” kata Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) DR. Asrorun Ni’am di Jakarta, Selasa (21/3/2017).

Menurut Asrorun Ni’am, KPAI telah mengidentifikasi kategori anak yang menjadi korban terorisme. Pertama anak jadi korban langsung terorisme yang karena tindak kejahatan teroirsme menyebabkan anak kehilangan hak pengasuhan, kehilangan kesempatan untuk mendapat hak kesehatan, pendidikan, dan sejenisnya. Kedua anak yang terpapar ajaran radikalisme dengan berbasis agama karena ajaran agama yang berbasis radikalisme akan bermuara tindak pidana terorisme. Dalam hal ini anak terpapar ajaran radikalisme terorisme bisa jadi dari orang tua, lingkungan, warnet, media digital.

Untuk dua jenis ini, lanjut Asrorun, harus dilakukan langkah-langkah preventif dan perlu dilakukan sinkronisasi. Di satu sisi komitmen pemberantasan tindak pidana terorisme ini pendekatan penghukuman dengan penindakan terhadap setiap orang yang diduga melakukan tindak pidana terorisme, termasuk anak-anak. Tapi dalam UU Nomor 11 Tahun 2012 tentang sistem peradilan pidana anak, menegaskan kualifikasi kedua tentang potensi anak masuk dalam jaringan tindak pidana terorisme itu masuk kategori korban dengan pendekatan berbeda dalam. Disitu juga ditegaskan bahwa harus dilakukan pendekatan keadilan restoratif (memulihkan).

“Anak yang diduga tindak pidana terorisme, harus ditangani secara tidak keras, tapi dengan pemulihan. Jika memungkinan pendekatan yang bermuara pada pemulihan anak, bukan penghukuman sebagai wujud pembalasan,” imbuh Asrorun.

Untuk mewujudkan perlindungan anak itu, ujar Asrorun, langkah pertama adalah penguatan ketahanan ketahanan keluarga, karena disitu anak tersemai hal baik atau buruk yang berpotensi untuk meningkatkan harkat martabat anak atau justru merendahkan anak. Makanya penting untuk membangun kesadaran kolektif orang tuauntuk memastikan hak dasar agama anak. Kemudian pada lembaga baik pemerintah atau swasta, terutama lembaga pendidikan, harus ada referensi terkait kualitas para pengajar, baik pendidikan agama atau umum. Pengetahuan memadai tentang apa yang diajarkan dan siapa yang mengajarkan, juga bisa menjamin pemastian hak-hak anak di lingkup pendidikan.

“Ini menjadi bagian tak terpisahkan fungsi dan tanggungjawab kita dalam perlindungan anak saat usia sekolah. Anak harus dipastikan ditempatkann dalam sistem pengajaran yang benar, terutama dalam mendalami pelajaran agama,” tegas Asrorun yang juga Wakil Sekretaris Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) ini.

Asrorun menegaskan seluruh bangsa harus memiliki komitmen yang sama bahwa terorisme itu adalah extra ordinary crime sehingga perlu penanganan serius. Tidak hanya penindakan tapi juga pencegahan dan sosialisasi guna memastikan seluruh potensi tindak pidana terorisme bisa dicegah dari dini.

“Salah satu wujud komitmen itu, KPAI melakukan langkah advokasi dalam perbaikan peraturan perundang-undangan agar Undang-Undang Perlindungan Anak memilliki visi dan komitmen dalam melakukan pencegahan tindak pidana terorisme, khususnya yang melibatan anak sebagai korban atau pelaku. KPAI juga bersinergi dengan BNPT untuk melakukan pencegahan paham terorisme yang menyasar anak-anak,” terang Asrorun Ni’am.