Jakarta – Kemajuan sebuah bangsa tidak hanya ditentukan oleh berlimpahnya sumber daya alam dan daya manusia, tetapi hal paling penting adalah terbangunnya trust culture atau budaya saling percaya sebagai modal mendasar bagi kemajuan sebuah bangsa. Budaya saling percaya baik horizontal dan vertikal merupakan energi dan semangat dalam menggerakkan ruang publik menjadi demokratis dan produktif.
Peneliti senior Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Prof. Dr. Siti Zuhro, M.A, mengatakan bahwa untuk membangun kepercayaan dalam iklim demokrasi ini maka pemerintah perlu untuk melakukan perbaikan-perbaikan dalam komunikasi politiknya. Baik komunikasi dengan para tokoh maupun dengan masyarakat.
”Si Indonesia ini ada yang namanya UU Keterbukaan Informasi Publik (KIP), bukan hanya UU ITE. Maka masyarakat memiliki hak untuk mengakses informasi, sehingga informasi yang disampaikan oleh pemerintah kepada masyarakat ini harus transparan,” ujar Prof. Dr. Siti Zuhro, M.A, di Jakarta, Jumat (23/10/2020).
Siti menyarankan bahwa setiap permasalahan yang ada ini harus dikenali utnuk mengetahui apa solusinya sehingga bisa segera dilakukan perbaikan-perbaikan. Karena menurutnya kalau permasalahan ini hanya dibiarkan saja hingga menumpuk makan bisa menimbulkan akumulasi ketidakpuasaan dan membuat masyarakat tidak percaya kepada pemerintah.
”Kita ini kan sedang membangun demokrasi, membangun demokrasi itu kan bukan cuma saat Pilkada dan Pemilu. Tapi bagaimana mengedukasi masyarakat dengan nilai-nilai demokrasi. Sehingga masyarakat bisa memahami apa esensi demokrasi itu sendiri,” jelas Siti.
Wanita kelahiran Blitar, 7 November 1958 ini menerangkan bahwa perlu melembagakan nilai-nilai terkait demokrasi menjadi suatu pemahaman, suatu orientasi yang nantinya bisa dilaksanakan oleh masyarakat. Jadi dalam berdemokrasi kita bisa melakukan trust building, sehingga tidak ada lagi rusuh dalam setiap sengketa Pilkada.
”Saling mencemooh, saling saling melecehkan, ini kan sama sekali sekali bukan demokrasi. Padahal kan demokrasi diadakan agar konflik itu tidak mengerucut dan menjadi tren. Jadi semakin demokratis masyarakat harusnya konflik dan kekerasan itu semakin menurun,” terangnya.
Karena menurutnya dengan adanya demokrasi, setiap perbedaan pendapat sudah terwadahi dalam cara-cara dialog dan musyawarah mufakat. Ini yang saat ini tidak ada, hanya fokus mendesain pemilu, merevisi UU. Dari tahun ke tahun terus seperti itu. Tidak membumikan, tidak mensosialisasikan nilai-nilai terkait dengan budaya demokrasi itu sendiri.
”Sehingga sekarang yang terjadi, baru setahun menjabat sudah kena Operasi Tangkap Tangan (OTT) KPK. Ada yang belum satu tahun menjabat sudah tertangkap karena narkoba, belum lagi sengketa antara kepala daerah dan wakilnya. Jadi yang dihasilkan malah divide governance bukannya good governance,” ungkapnya.
Oleh sebab itu Siti menyampaikan bahwa trust building adalah hal yang sangat mendasar dalam membangun demokrasi, karena itu menyangkut membangun peradaban. Membangun sutau nilai-nilai budaya yang kompatibel dengan nantinya aplikasi dalam berdemokrasi. Sehingga menurutnya, jangan sampai ketika sudah terpilih malah masyarakatnya tidak digubris.
”Jadi mestinya setiap kita melakukan pemilu, ada capaian-capaian positif yang mestinya naik kelas. Jadi antara calon pemimpin dan masyarakatnya ini mereka bertemu langsung, bertatap muka, berdialog dalam kampanye itu untuk merasakan masalah yang ada,” tutur Siti.
Menurutnya, kalau pemerintah saja dalam membuat suatu peraturan atau kebijakan tidak mencerminkan untuk kemaslahatan bersama maka pasti susah untuk membangun kepercayaan. Ia menuturkan, sulit membangun sinergi dengan para tokoh, kalau para tokoh ini sendiri menentang kebijakan pemerintah. Hubungan mereka kurang harmonis dengan pemerintah.
”Padahal dalam situasi pandemi ini, mau tidak mau, suka tidak suka, pemerintah itu membutuhkan dukungan dari masyarakat, bukan dukungan dalam pemilu. Maka diperlukan peran serta dari mayarakat untuk saling bersinergi dengan pemerintah,” ujarnya mengakhiri.