Jakarta – Pengamat dari Institute for Security and Strategic Studies (ISESS) Khairul Fahmi menegaskan, pelibatan Tentara Nasional Indonesia (TNI) dalam penanggulangan aksi teroris, seharusna hanya diberlakukan untuk pemberantasan kelompok teror. Kelompok teror itu adalah yang berkembang menjadi kelompok insurgent atau pemberontak.
Dikatakan, jika teror yang dilakukan ke markas polisi, belum dapat dikatakan sebagai momentum pelibatan TNI. Kasus-kasus seperti itu tentu bisa diatasi secara langsung oleh anggota polisi. Sedangkan, TNI dapat dilibatkan ketika ada pemberontakan sekaligus ada upaya penguasaan wilayah tertentu.
“Kalau aksi-aksi teror tersebut diduga terkait dengan upaya merongrong kedaulatan negara, separatisme, pemisahan diri dari NKRI atau perburuan kelompok teroris di Poso, pelibatan TNI sangat tepat. Kita bisa mengambil contoh pelibatan tentara Filipina di kasus di Marawi atau tentara Thailand di Thailand Selatan,” kata Khairul Fahmi kepada wartawan di Jakarta, Rabu (5/7/2017).
Menyinggung skema pemberantasan teror di luar itu, Khairul mengatakan, seharusnya tetaplah merupakan suatu upaya penegakan hukum atas kejahatan luar biasa dengan BNPT dan Polri sebagai ujung tombaknya. Partisipasi lembaga-lembaga lain mestinya berada dalam kerangka kerja BNPT. “Bukan menonjolkan ego sektoral masing-masing,” jelasnya.
Khairul mengakui, adanya fenomena kelompok teroris yang bergeser menjadi aksi insurgent atau pemberontakan. Kondisi ini seperti terjadi di Suriah dan Marawi, Filipina. Secara global ada kegagalan perang melawan teror seperti yang dicanangkan Amerika Serikat (AS) beberapa tahun lalu. Kelompok-kelompok teroris global ini bukan habis, melainkan bermetamorfosis menjadi aksi insurgensi atau pemberontakan.
Akibatnya, kelompok ini menjadi sulit dijangkau hanya dengan upaya penegakan hukum dan makin merepotkan. “Sejatinya teror ekstrem bukan fenomena baru. Setidaknya sejak 2002, teror seperti ini sudah mengancam Indonesia,” pungkasnya.