Sleman – Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) menilai kelompok pelaku terorisme saat ini tak lagi dapat didentifikasi hanya berdasarkan pakaian yang dikenakannya. Atas dasar tersebut, konsep dakwah sebagai salah satu sarana pencegahan juga harus diubah.
Ini disampaikan Kepala Subdirektorat Pemberdayaan Masyarakat BNPT, Andi Intang Dulung, saat membuka kegiatan Penguatan Kapasitas Penyuluh Agama dalam Menghadapi Radikalisme di Kabupaten Sleman, Yogyakarta, Rabu (21/3/2018). Kegiatan ini terlaksana atas kerjasama BNPT dan Forum Koordinasi Pencegahan Terorisme (FKPT) Yogyakarta.
“Jika dulu bisa kina kenali karena kostum, pakaian yang mereka (pelaku radikalisme dan terorisme, red.) pakai, sekarang tidak. Tapi ciri utama mereka masih tetap soal sikap intoleransi,” kata Andi Intang.
Perubahan karakteristik fisik pelaku radikalisme dan terorisme, lanjut Andi Intang, harus disikapi dengan mengubah pola dakwah. Penyuluh agama sebagai juru penerangan ke masyarakat digandeng karena posisinya yang sangat strategis. “Kenapa bapk dan ibu yang dihadirkan di sini? Karena bapak dan ibu sekalin yang mengetahui apa yang tepat disampaikan ke kelompok binaannya,” tambahnya.
Dalam pengutana kepasitas terhadap penyuluh agama tersebut, masih kata Andi Intang, BNPT menggandeng Kementerian Agama dan perwakilan Indonesia Conference og Religion and Peace (ICRP) sebagai pemateri. Melalui penguatan kapasitas tersebut BNPT berharap ada pemutakhiran pola dakwah, sehingga materi seputar pencegahan radikalisme dan terorisme bisa disampaikan dan diterima dengan mudah oleh masyarakat.
Kepala Kantor Wilayah Kementerian Agama Daerah Istimewa Yogyakarta, M. Luthfi Hamid, mengapresiasi langkah BNPT yang menggandeng penyuluh agama dalam proses pencegahan radikalisme dan terorisme. Dia menyebut penyuluh agama adalah instrumen paling penting dalam penyampaian hal-hal seputar keagamaan ke masyarakat.
“(Kegiatan) ini bukanlah suatu hal yang berlebihan untuk diapresiasi. Kami sangat mengapresiasi, karena ini sangat penting,” kata ungkap Luthfi.
Luthfi bahkan menawarkan adanya kerjasama jangka panjang untuk kegiatan sejenis, mengingat potensi radikalisme dan terorisme, khususnya di Yogyakarta, dinilai masih sangat besar. “Ini sinergi yang bagus dan layak dilanjutkan,” pungkasnya. [shk/shk]