Wellington – Penembak massal yang menewaskan 51 orang di Selandia Baru 2019 tidak muncul di pengadilan pada Kamis (15/4). Padahal, dia meminta peninjauan yudisial atas kondisi penjara dan statusnya sebagai entitas teroris.
Brenton Tarrant, seorang supremasi kulit putih, meluncurkan gugatan hukum minggu ini. Namun, dia yang akan mewakili dirinya sendiri dalam sidang kamar pengadilan tinggi pada Kamis melalui telekonferensi dari sebuah penjara di Auckland malah tidak hadir.
Dikurip dari Reuters, Hakim Geoffrey Venning menunda persidangan tanpa tanggal yang ditetapkan sampai ada permintaan lebih lanjut dari Tarrant. Informasi awal yang diberikan kepada pejabat pengadilan menunjukkan bahwa Tarrant menginginkan peninjauan atas keputusan yang dibuat oleh Departemen Pemasyarakat.
Gugatan itu tentang kondisi penjara dan penunjukannya sebagai seorang teroris berdasarkan Undang-Undang Pemberantasan Terorisme. Warga negara Australia ini adalah satu-satunya orang di Selandia Baru yang ditetapkan berstatus teroris. Sidang tentang gugatan tersebut tidak akan berpengaruh pada hasil putusan kasus pidana terhadap Tarrant atau hukumannya.
Tarrant dijatuhi hukuman penjara seumur hidup tanpa pembebasan bersyarat pada Agustus atas pembunuhan di dua masjid di Christchurch pada 15 Maret 2019. Peristiwa itu menjadi penembakan massal terburuk dalam sejarah Selandia Baru.