Denpasar – Upaya menumbuhkan kesadaran generasi muda agar terhindar dari paham intoleransi, radikalisme, dan terorisme terus digencarkan. Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) bersama Dinas Pendidikan, Pemuda, dan Olahraga (Disdikpora) Provinsi Bali menggelar kegiatan “Sekolah Damai Bali” bertema Pelajar Cerdas Cinta Damai, di Aula SMA Negeri 1 Denpasar, Jumat (7/11/2025).
Kegiatan yang diikuti sekitar 200 pelajar SMA se-Denpasar ini menjadi ruang edukasi penting bagi siswa untuk memahami bahaya ideologi kekerasan yang mengatasnamakan agama maupun kebangsaan.
Deputi I Bidang Pencegahan, Perlindungan, dan Deradikalisasi BNPT, Mayjen TNI Sudaryanto, S.E., M.Han., menegaskan bahwa tantangan utama menuju Indonesia Emas 2045 bukan hanya kemiskinan dan kebodohan, melainkan juga penyebaran paham IRET (Intoleransi, Radikalisme, Ekstremisme, dan Terorisme).
“Para pelajar harus memiliki 3M dalam menerima informasi — menimbang, memilah, dan memilih. Langkah sederhana ini dapat melindungi diri dari ajakan maupun hasutan radikal yang sering tersembunyi di balik narasi keagamaan,” tegasnya.
Sudaryanto juga mengingatkan agar pelajar lebih bijak dalam bermain game daring, seperti Roblox, yang belakangan diketahui memiliki simulasi serangan terhadap objek vital negara. Ia menilai, media hiburan pun kini bisa menjadi pintu masuk radikalisasi anak muda apabila tidak diwaspadai.
Pada kesempatan tersebut, Firdaus Salam Isnanto, mitra deradikalisasi BNPT sekaligus mantan napi terorisme, turut berbagi pengalaman hidupnya. Ia menuturkan bahwa paham radikal sering tumbuh dari lingkungan pertemanan yang salah dan pengetahuan agama yang dangkal.
“Banyak pelaku teror yang saya temui di lapas bahkan tidak bisa membaca Al-Qur’an. Mereka hanya ikut-ikutan dan tertipu tafsir keliru tentang jihad,” ujarnya.
“Agama sejatinya membawa kedamaian, bukan kebencian. Jika pemahaman agama keliru, rasa empati pun hilang,” tambahnya.
Sementara itu, A.A. Istri Vera Laksmi Dewi, S.E., M.M., dari Disdikpora Provinsi Bali mengapresiasi langkah BNPT dalam memperkuat ketahanan satuan pendidikan dari infiltrasi paham radikal. Ia menilai kegiatan ini memberikan manfaat besar bagi guru dan siswa di Bali, yang selama ini lebih banyak menerima pelatihan akademis daripada penyuluhan ideologis.
“Dengan pelatihan seperti ini, guru dan siswa bisa mengenali gejala radikalisme sejak dini. Sekolah jangan sampai menjadi pintu masuk ideologi kekerasan,” ungkapnya.
Istri Vera juga menekankan pentingnya sinergi antara sekolah, orang tua, dan masyarakat adat dalam menjaga generasi muda.
Menurutnya, keluarga adalah benteng pertama dalam pembentukan karakter cinta damai.
“Orang tua harus menjadi sahabat anak, membangun komunikasi yang hangat, agar tidak ada celah bagi pengaruh buruk. Kalau peran keluarga lemah, kerja guru di sekolah pun tidak akan maksimal,” ujarnya.
Ia menambahkan, masyarakat Bali memiliki keunggulan nilai-nilai adat yang kuat sebagai benteng sosial menghadapi ideologi transnasional.
“Adat Bali melalui Awig-Awig menjadi pengikat moral yang efektif. Siapa pun yang melanggar adat akan mendapat sanksi yang menimbulkan efek jera. Nilai ini selaras dengan semangat moderasi beragama dan kebangsaan,” pungkasnya.
Kegiatan Sekolah Damai Bali menjadi bukti nyata bahwa pendidikan bukan hanya tentang akademik, tetapi juga pembentukan karakter. Dari Bali, semangat “Pelajar Cerdas Cinta Damai” diharapkan menyala untuk seluruh Indonesia — menumbuhkan generasi muda yang beriman, berilmu, dan berjiwa kebangsaan
Damailah Indonesiaku Bersama Cegah Terorisme!