Jakarta – Ideologi Pancasila terbukti ampuh menjaga NKRI. Sejak bangsa Indonesia merdeka 73 tahun lalu, Pancasila mampu menghalau berbagai ancaman dan gangguan yang ini memecah belah NKRI. Pun begitu menjelang Pemilihan Presiden (Pilres) 2019, bila bangsa Indonesia tetap berpegang teguh pada Pancasila, dinamika yang terjadi akhir-akhir ini sudah sangat gaduh pasti tidak akan mampu menggoyangkan persatuan dan kesatuan Indonesia.
“Ideologi Pancasila telah diuji sepanjang bangsa kita lahir. Kalau sekarang di masa gaduh politik, ada pihak tertentu yang ingin memecah NKRI, maka hanya bangsa kita yang bisa menyelesaikan tidak bisa dbantu bangsa lain,” ujar Rektor Universitas Muhammadiyah Jakarta (UMJ) Prof. Dr. Syaiful Bakhri, SH, MH di Jakarta, Senin (15/10/2018).
Caranya, lanjut Syaiful, bangsa kita harus berdikari dalam politik, mementingkan kepentingan nasional, bukan kepentingan ormas maupun politik. Untuk mewujudkan perdamaian kembali dan cita-cita luhur bangsa yang adil dan makmur, tidak ada pilihan lain kecuali kembali memperkuat Pancasila yang ditopang oleh agama-agama yang ada di Indonesia, dan Ormas keagamaan, yang bisa menjadi tali perekat bangsa Indonesia.
Menurutnya, bila fungsi ini berjalan dengan baik, sejatinya akan jadi pagar NKRI. Ditambah dengan soliditas TNI/Polri sebagai penopang utama. TNI/Polri harus berkeadilan dalam menghadapi ancaman dan provokasi yang mengarah pada kepentingan kelompok tertentu. Tapi itu juga tidak akan berarti, bila tidak didukung garda terdepan lainnya yaitu Ormas keagamaan. Kolaborasi itu bisa menjadi ‘wasit’ di setiap pergelaran demokrasi seperti sekarang ini.
Ia yakin Indonesia bisa keluar dari isu-isu yang ingin memecah belah persatuan dan kesatuan. Menurutnya, ujian memecah kesatuan, sejak awal Indonesia merdeka sudah terjadi. Pada jaman presiden pertama Ir. Soekarno sudah terjadi. Begitu juga saat masa awal Presiden Soeharto juga terjadi, bahkan hingga sekarang ini. Upaya memecah belah persatuan dan kesatuan itu selalu dilakukan oleh bangsa Indonesia Indonesia sendiri, bukan bangsa asing.
Hal ini, ungkap Syaiful, tidak lepas dari keberadaan media, apakah itu media konvensional maupun media sosial (medsos). Menurutnya, media yang baik harus bisa memberikan informasi yang baik dan mencerahkan masyarakat. Pun masyarakat juga harus pandai memaknai informasi dengan mengedepankan kata hati dan jiwa, lalu menyaringnya sebelum menyebarkan informasi tersebut. Ini penting agar informasi disebarkan membawa kebaikan dan sesuai dengan tujuan bangsa Indonesia yaitu menciptakan masyarakat adil dan makmur, bukan yang lain.
Ia menjelaskan, bahwa di alam demokrasi, perbedaan pendapat itu adalah hal yang biasa. Apalagi sekarang ini, demokrasi di Indonesia diwujudkan dengan pemilihan secara langsung mulai dari Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada), Pemilihan Legislatif (Pileg), dan Pilpres. Sejak dilakukan sistem demokrasi langsung telah beberapa kali dilakukan Pilkada, Pileg, dan Pilpres, keadaan tetap kondusif dan membanggakan. Itu karena bangsa Indonesia sudah semakin dewasa dalam berdemokrasi.
Di 2019, ungkap Syaiful, bangsa Indonesia akan menghadapi Pemilu bersamaan antara Pilres dan Pileg sehingga bisa dibayangkan begitu banyaknya keterlibatan setiap warga negara untuk mensukseskan, apakah dirinya sendiri ataupun partainya, atau capresnya. Kesibukan itu sudah mulai terlihat dengan medsos begitu bebas, yang dimiliki setiap orang dengan berbagai macam pendapat yang sensitif, atau juga yang obyektif memandang keadaan politik dari jelang masa kampanye hingga April 2019
Sejauh ini, ketegangan ini tidak berakhir, tapi semakin memuncak, diikuti pula oleh isu penyebaran informasi yang tidak benar ataupun pendapat pakar yang pada akhirnya menjadi pegangan buat setiap orang
“Mestinya ketika menerima sebuah informasi, masyarakat harus pandai mengendapkan, meneliti, baru kemudian berpendapat. Informasi itu tidak selamanya bermanfaat, meski penting. Informasi yang baik adalah informasi untuk merekatkan persatuan dan kesatuan. Informasi yang menguatkan makna hidup bermasyarakat dengan ideologi Pancasila. Informasi yang menyejukkan, dengan bahasa agama agama yang resmi yang semuanya bisa menjadi model netralitas dari informasi liar. Yang beredar sangat masif melalui medsos,” papar pria kelahiran Kotabaru, Kalimantan Selatan, 20 Juli 1962 lalu.
Ironisnya, kegaduhan jelang Pilpres ini terjadi bersamaan dengan musibah gempa bumi, tsunami, banjir yang terjadi di Lombok, Palu, Donggala, dan Sigi. Yang mengakibatkan penderitaan rakyat terdampak bencana tersebut. Penanganan dampak gempa inilah yang seharusnya mendapat perhatian semua pihak dengan bersatu membantu meringatkan penderitaan para korban. Namun yang terjadi justru banyak pihak yang menjadikan bencana itu sebagai komoditi politik, bahkan hoax.
Sebagai bangsa yang santun, harap Syaiful, bangsa Indonesia harus memaknai lebih jauh peristiwa tersebut dengan mengoreksi diri agar keadaan ini tidak berlanjutan. Karena itu, informasi yang sifatnya propaganda pada sebagian golongan hendaknya bisa diredam, atau bahkan diakhiri saja. Ini penting agar keseimbangan berpolitik dan empati kemanusiaan bisa dikedepankan demi keutuhan NKRI.