PBNU Minta Dai dan Tokoh Agama Hindari Politik Identitas Jelang Pemilu 2024

Jakarta – Ketua Lembaga Dakwah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (LD PBNU) KH Abdullah Syamsul Arifin (Gus Aab) meminta para dai dan tokoh agama untuk menghindari politik identitas dalam masa-masa menjelang pemilihan umum (Pemilu) 2024 mendatang.

“Hindarilah politik identitas, apalagi yang menjadikan agama sebagai komoditas, karena itu yang berpotensi besar untuk terciptanya keretakan sosial dan perpecahan di tengah-tengah umat,” kata Gus Aab usai acara Halal Bihalal dan Silaturahim LD PBNU di lantai 8 Gedung PBNU Jalan Kramat Raya 164 Jakarta, pada Rabu (10/5).

Menurut Gus Aab, para dai dan tokoh agama memiliki peran sangat penting untuk menjaga kondusivitas kehidupan umat beragama di Indonesia, baik dalam hubungan antaragama, di internal satu agama, dan hubungan dalam kehidupan bernegara sebagai sesama anak bangsa.

“Hindari hal-hal yang bisa menimbulkan konflik horizontal, apalagi dengan membawa simbol-simbol agama pada tempat yang kurang tepat. Sehingga di situlah seharusnya mereka menjadi perekat, bukan malah menjadi pemicu perpecahan umat,” ucap Pengasuh Pesantren Darul Arifin Jember, Jawa Timur itu.

Menjelang tahun politik atau Pemilu pada 2024, ia mengajak para dai dan tokoh agama agar memiliki semangat untuk tetap menjalin persatuan dan kesatuan, menjaga umat dalam bingkai persaudaraan untuk memantapkan pelayanan kepada umat, sekaligus menjaga kondusivitas kehidupan berbangsa dan bernegara. Gus Aab menegaskan, para tokoh agama memiliki peran sangat penting menjadi perekat sosial.

Sebab perpecahan di tengah masyarakat bisa terjadi ketika peran agama tidak ditempatkan sebagaimana mestinya. Gus Aab menuturkan bahwa agama seharusnya menjadi pemersatu, penyejuk, pendamai. Ia yakin, siapa pun yang mampu memegang nilai-nilai agama dengan baik maka akan mampu bersikap toleran dalam menyikapi perbedaan.

“Karena perbedaan itu adalah suatu keniscayaan di dalam kontestasi politik, di dalam berbagai tingkatan. Kita ini dalam lima tahun akan menghadapi banyak pil-pilan, bisa lebih dari 5 kali seandainya tidak ada penyatuan ini. Mulai dari pilpres, pileg, pilgub, pilbup, bahkan pilkades, sampai kepada pilihan kampung, RT/RW,” terangnya.

Saat para tokoh agama tidak mampu menyikapi berbagai perbedaan di dalam kontestasi politik itu secara dewasa, maka akan muncul potensi konflik dan menyebabkan terciptanya keretakan sosial.

“Nah di situlah peran tokoh agama (yaitu) untuk memberikan kedewasaan di dalam berpolitik, di dalam menjaga prinsip al-ittihad fil ittifaq (bersatu di dalam kesamaan pilihan), ketika itu tidak mampu dijaga maka al-ittihad fil ikhtilaf (tetap bersatu dalam perbedaan). Karena perbedaan itu adalah keniscayaan,” tuturnya.