New York – Kebijakan lockdown dan pembatasan sosial ketat selama pandemi covid-19 turut memengaruhi intensitas serangan teror di banyak negara, termasuk serangan yang dilakukan kelompok militan ISIS.
Wakil Sekjen PBB untuk Penanggulangan Terorisme Vladimir Voronkov mengatakan, lockdown yang diterapkan banyak negara mengurangi ancaman serangan ISIS. Meski demikian dia menyebut risiko serangan di Irak dan Suriah masih cukup tinggi.
Dia memperkirakan masih ada sekitar 10.000 anggota ISIS di dua negara tersebut yang bertahan setelah kelompok itu kalah dan harus melepaskan kota-kota yang mereka kuasai.
“Langkah-langkah untuk meminimalisasi penyebaran Covid-19, seperti lokcdown dan pembatasan pergerakan, tampaknya mengurangi risiko serangan teroris di banyak negara,” kata Voronkov, dikutip dari AFP, Selasa (25/8).
Dia menyebut negara-negara tersebut, namun ISIS telah mengklaim banyak serangan, mulai dari Prancis hingga Filipina.
Ada bukti kelompok ISIS berkumpul kembali di zona konflik seperti Irak dan Suriah. Namun untuk saat ini, pihak berwenang di dua negara tersebut belum melihat indikasi perubahan strategi di bawah kepemimpinan baru mereka, Amir Mohammed Said Abd Al Rahman Al Mawla, yang menggantikan Abu Bakar Baghdadi yang tewas dalam serangan pasukan elite AS pada Oktober 2019.
Lebih lanjut Voronkov menjelaskan, pandemi juga berdampak pada menurunnya perekrutan dan keuangan ISIS, namun ancaman dari dunia maya tetap ada mengingat banyak orang mengalihkan akivitas mereka ke online.
Voronkov juga memberikan informasi terbaru mengenai kegiatan ISIS di tempat lain. Disebutkan, ISIS memiliki sekitar 3.500 anggota baru di Afrika Barat dan terus membangun hubungan dengan kelompok jihadis lokal.
Di Libya, jumlah jihadis ISIS hanya ratusan, namun kelompok itu tetap menjadi ancaman bagi wilayah tersebut. Kelompok ini juga memiliki kapasitas melancarkan serangan yang menghancurkan beberapa bagian Afghanistan, meskipun beberapa pemimpin telah ditangkap dan kehilangan sebagian wilayah.