Jakarta – Kemajuan teknologi digital membuat informasi dan pengetahuan menjadi sangat canggih. Namun ironisnya, kemajuan teknologi digital tidak hanya berdampak positif bagi kehidupan umat manusia, tapi juga ekses negatif. Contohnya, banyak negara di dunia yang kondisinya saat ini hancur lebur hanya karena penduduknya tidak mampu memfiltrasi informasi secara kritis dan bijak, tak terkecuali Indonesia.
Ketua Presidium MAFINDO (Masyarakat Anti Fitnah Indonesia), Septiaji Eko Nugroho, ST., M.Sc., menjelaskan bahwa dalam momen Sumpah Pemuda yang baru saja diperingati, Bangsa Indonesia perlu belajar dari berbagai negara yang sama-sama menghadapi tantangan di dunia digital.
“Banyak negara yang kemudian mengalami kekacauan, karena masyarakatnya tidak bisa menyaring konten hoax yang datang, lalu ikut menyebarkan dan mempercayainya sebagai sebuah kebenaran. Dampaknya kemudian melahirkan polarisasi yang kuat bahkan akhirnya menuju pada dehumanisasi yang menjelekkan hingga menjatuhkan orang lain,” ujar Septiaji di Jakarta, Senin (6/11/2023).
Menurutnya, isu-isu semacam itu sangat mudah untuk dimanfaatkan untuk kepentingan tertentu, apalagi menjelang pemilu 2024. Maka dari itu, anak-anak muda harus mau berkomitmen untuk menjadi agen dan duta perdamaian. Mereka perlu mulai dari sekarang menentukan sikap tentang peran apa yang akan mereka ambil dalam mengusung perdamaian dan anti hoax.
Ia menambahkan bahwa banyak cara untuk menjadi agen perdamaian. Misalnya dengan menjadi content creator yang menyajikan narasi-narasi kebangsaan, kepercayaan, atau pun persaudaraan, dengan cara-cara yang asik. Para pemuda bisa turut serta membumikan konten positif dengan mengunggahnya di berbagai media sosial seperti TikTok dan Instagram. Mereka juga bisa ambil bagian dalam mensosialisasikan penggunaan media sosial secara langsung terhadap masyarakat sekitarnya.
Alumni dari Technische Universitaet Muenchen ini menambahkan bahwa pendekatan anti hoax yang dilakukan anak muda terhadap masyarakat bisa dilakukan di banyak kesempatan. Banyak acara keagamaan seperti pengajian, sekolah minggu atau di kesempatan lain yang banyak orang hadir, para agen perdamaian bisa menularkan pengetahuan mereka tentang indahnya toleransi.
“Ada banyak sekali momen ataupun kegiatan yang sebenarnya perlu kita datangi untuk mensosialisasikan ini. Bisa juga dengan cara bergabung menjadi relawan dari beberapa organisasi yang secara konsisten menyuarakan tentang bahayanya sebaran kebohongan dan kebencian, serta pentingnya berpikir kritis,” jelasnya.
Septiaji mengungkapkan bahwa harus diakui konflik Palestina-Israel adalah suatu kekejian yang sangat luar biasa. Imbas lainnya juga terjadi berbagai tekanan terhadap masyarakat yang menjadi kelompok minoritas di negara lain sebagai aksi solidaritas terhadap Palestina dan balasan terhadap Israel.
“Tapi seringkali hal semacam ini dibumbui dengan narasi yang tidak bisa dipertanggungjawabkan kebenarannya. Kelompok radikal dan intoleran mengemas ini menjadi konten-konten yang dibuat untuk mengiring masyarakat, bahwa kamu harus memilih dan mendukung mereka.”
“Jika tidak begitu, berarti kamu sama saja tidak berempati kepada umatmu dan agamamu. Hal-hal yang dapat membakar emosi semacam ini lalu didukung dengan teknologi digital sekarang yang sudah semakin canggih, membuat kemampuan melakukan persuasi serta mengiring emosi orang banyak, menjadikan dampaknya lebih kompleks dari sebelumnya,” tutur Septiaji.
Untuk itu, ia mengingatkan, kalau masyarakat, khususnya generasi muda, tidak punya ketahanan dan pengalaman menghadapi konten kebohongan dan kebencian semacam itu, sangat mungkin akan larut dan termakan konten-konten tersebut. Dikhawatirkan dengan kondisi itu seseorang juga ikut menjadi bagian dari masalah.
“Potensi risiko yang seperti ini sangat mungkin terjadi di era digital, dan biasanya terakumulasi antara hoax yang berkembang dengan kepercayaan publik terhadap institusi Pemerintah yang semakin menurun,” tukasnya.
Selain itu, lanjut Septiaji, penggiringan isu negatif yang sedang trending biasanya juga dipoles dengan politik identitas, untuk mengiring banyak orang ke suatu arah tertentu. Sasarannya adalah mereka yang sebenarnya peduli, tetapi karena mereka tidak memiliki pengetahuan atau ilmu yang komprehensif, akhirnya rasa kepedulian banyak orang bisa dibelokkan menjadi suatu aksi yang tidak produktif.
Septiaji pun berpesan agar generasi muda tidak menjadi seperti katak dalam tempurung, menganggap dirinya tahu segalanya, tapi sebenarnya memiliki pemahaman yang sempit karena tidak pernah mempertimbangkan perspektif dari selain yang ia yakini.
“Orang atau kelompok yang selalu merasa benar sendiri akan cenderung membentuk pemikirannya menjadi sempit atau seperti katak dalam tempurung. Dari sinilah biasanya isu-isu radikalisme akan mudah sekali ditanamkan kepada orang yang demikian dan mereka memiliki tendensi menolak pemikiran yang berbeda dengannya,” tandas Septiaji.