Sumber : asrulsani.com

Pasal 28 RUU Terorisme Jadi Perdebatan di DPR

Jakarta, Revisi pasal demi pasal Rancangan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme (RUU Terorisme) terus digodok Panitia Kerja (Panja) RUU di parlemen. Salah satu poin dalam Daftar Invetaris Masalah (DIM) yang menjadi perdebatan Panja RUU Terorisme dengan pemerintah adalah pasal 28.

Bunyi pasal tersebut yakni, penyidik dapat melakukan penangkapan terhadap setiap orang yang diduga keras melakukan tindak pidana terorisme dalam waktu paling lama 30 hari. Masa penangkapan itu menjadi kontroversi lantaran jauh melebihi batas waktu yang diberikan kepada aparat penegak hukum selama ini, yakni 7×24 jam untuk menangkap orang tanpa status hukum.

Dalam rapat Panja RUU Terorisme yang cukup alot, di Gedung DPR RI, Rabu (5/4/2017), pemerintah menginginkan masa penangkapan tetap dalam kurun waktu 30 hari dengan sejumlah alasan. Salah satunya adalah, penegak hukum, memerlukan waktu untuk menemukan dua alat bukti yang menyatakan bahwa pihak bersangkutan terlibat dalam dugaan tindak pidana terorisme.

Anggota Panja RUU Terorisme, Arsul Sani juga menanyakan alasan masa penangkapan itu. Bukan soal tawar menawar masa penangkapan. Namun, menurutnya waktu penangkapan dari 7 hari menjadi 30 hari merupakan loncatan yang cukup jauh.

“Ini loncatan yang sangat besar. Ini bukan dalam konteks tawar-menawar. Kalau waktu 7 hari dirasa nggak cukup mencari bukti. Apakah 14 hari nggak cukup?” kata Arsul.

Dikatakan elaborasi pendapat dalam rapat tersebut merupakan hal biasa. Bagaimanapun dia tetap menggarisbawahi poin penting dari rapat tersebut adalah tentang alasan pemerintah menentukan waktu penangkapan selama 30 hari.

“Pemerintah misal dalam RUU ini minta jangka waktu 30 hari. Kami tentu minta penjelasan dulu, kenapa kok minta 30 hari,” kata Arsul.

Anggota Komisi III DPR itu mengatakan, pada rapat tersebut, pihaknya mencari penyeimbang mengenai batas waktu penangkapan yang disodorkan pemerintah.

Arsul menilai harus ada alasan logis mengenai batas waktu penangkapan terhadap pihak yang diduga terlibat terorisme. Dia mengaku sempat mengusulkan batas waktu penangkapan hanya 14 hari. “Kalau 14 hari juga kami minta ada penjelasan alasannya. Kami belum bahas penahanan, masih penangkapan,” katanya.

Anggota tim ahli dari pemerintah, Harkristuti Harkrisnowo, menyampaikan bahwa waktu penangkapan itu memang perlu dibahas lebih lanjut terkait lama penahanannya. Dia juga menyebut tentang bagaimana membuat mekanisme pengawasan terhadap orang yang diduga terlibat tindak pidana terorisme selama ditangkap.

Harkristuti pun meminta penegak hukum terkait untuk memberikan gambar yang jelas mengenai proses selama penangkapan untuk membuktikan bahwa yang bersangkutan terlibat dalam gerakan terorisme.

Sementara, Ketua Panja RUU Terorisme, Muhammad Syafi’i, meminta pemerintah menyiapkan bahan-bahan yang diminta untuk ditampilkan pada rapat selanjutnya. “Pemerintah harus sudah menyiapkan bahan (untuk rapat selanjutnya). Ke depan penanganan harus tuntas, hak korban harus dilindungi. Jadi rapat selanjutnya pekan depan,” kata Syafi’i.

Dia berpendapat sudah ada titik temu mengenai Pasal 28 dalam RUU Terorisme ini. Menurutnya peserta rapat sepakat harus ada batas waktu minimum dan maksimum penahanan dengan alasan jelas.

“Jadi (waktu penangkapan) yang kasusnya ringan sampai berat itu kami tak sepakat serta-merta. Harus ada proses supaya ada pengawasan. Sehingga tak langsung dipatok sekian hari, padahal ada kasus 7 hari selesai penyelidikannya,” kata Syafi’i.

Syafi’i mengatakan, nantinya jika RUU Terorisme ini diketok dan menjadi UU, bila ada penambahan waktu dalam penangkapan ada mekanisme yang mengaturnya, sehingga semua pihak tahu alasannya. “Intinya dalam pembahasan RUU Terorisme ini tiga spirit kami kedepankan, pemberantasan terorisme, penegakan hukum dan perlindungan hak asasi manusia,” imbuhnya.